Rabu, 08 Januari 2014

Positivisme Hukum Analitis

POSITIVISME HUKUM ANALITIS

I.          Pengertian Positivisme
Positivisme sebagai metode filsafat, dikenal juga sebagai paham empiris (empiricism)[1],  August Comte (1798-8157), seorang Matematikawan dan Filosof Perancis dapat dianggap sebagai pendiri filsafat positivisme modern. Dia membedakan tiga tahapan dalam pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahapan teologis, di mana seluruh phenomena dijelaskan dengan mengacu pada sebab-sebab yang bersifat gaib dan intervensi dari Tuhan. Tahap kedua adalah tahap metafisika, di mana pikiran memiliki jalan lain untuk mencapai prinsip-prinsip dan ide-ide pokok yang dipahami sebagai ada di bawah permukaan sesuatu dan merupakan kekuatan penggerak yang nyata dalam evolusi manusia. Tahap ketiga dan terakhir adalah tahap positivistik, yang menolak semua konstruksi hipotetis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empiris dan koneksi fakta di bawah bimbingan metode yang digunakan dalam ilmu alam[2].
Pemikiran Auguste Comte yang dikenal sebagai “hukum tiga tahap” ini, yang menggolongkan positivisme sebagai bagian terakhir dalam tahap perkembangan pemikiran manusia adalah terbuka terhadap keberatan-kebaratan yang penting. Bagaimanapun,  Pemikiran ini menyediakan tujuan yang bermanfaat dalam menggambarkan pergerakan dan petunjuk umum Filsafat Barat dari awal abad pertengahan ke awal abad kedua puluh. Sepanjang yang menyangkut filsafat hukum, kita telah melihat bahwa penafsiran hukum selama abad pertengahan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan teologis: hukum dibawa ke dalam hubungan dekat dengan wahyu ilahi dan kehendak Tuhan. Periode dari Renaissance ke sekitar pertengahan abad kesembilan belas, dapat digambarkan sebagai era metafisika dalam filsafat hukum. Doktrin hukum alam klasik begitupun evolusi filsafat hukum yang dianjurkan oleh Savigny, Hegel, Marx digolongkan dengan unsur-unsur metafisik tertentu. Teori-teori ini berusaha untuk menjelaskan sifat hukum dengan mengacu pada ide-ide tertentu atau prinsip-prinsip pokok, yang dipahami sebagai bekerja di bawah permukaan sesuatu. Tidak ada di antara, alasan abadi filiosof hukum alam atau “semangat nasional” dan “kekuatan operasi diam-diam” milik Savigny membentuk hukum atau “spirit dunia” milik Hegel yang menangani suluh evolusi dari satu Negara ke Negara yang lain  maupun "lenyapnya hukum dalam masyarakat komunis, yang dapat dinilai dan diukur dalam terminilogi dunia empiris. Semua konstruksi ini adalah "metafisik" ​​dalam arti luas, sejauh mereka mereka melampaui penampilan fisik sesuatu dan hal-hal yang bertolak dari asumsi kekuatan tak terlihat dan sebab utama yang harus dicari di balik fakta-fakta pengamatan langsung[3].
Di pertengahan abad kesembilan belas timbul sebuah gerakan balasan yang kuat terhadap kecenderungan metafisis pada abad sebelumnya. Gerakan ini dapat digambarkan dengan bebas tetapi istilah yang luas dari positivisme. Positivisme, sebagai sikap ilmiah menolak spekulasi apriori dan berusaha untuk membatasi diri pada data pengalaman. Positivisme menolak semangat luhur yang tinggi dan membatasi tugas ilmu pengetahuan kepada analisis "diberikan." Posistivisme menolak untuk melampaui fenomena persepsi dan menyangkal kemungkinan pemahaman alam dalam ‘esensi’. Pemikiran dasar positivisme telah disiapkan oleh keberhasilan besar yang dicapai dalam domain ilmu-ilmu alam pada paruh pertama abad kesembilan belas . Keberhasilan ini menimbulkan godaan yang kuat untuk menerapkan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam ke bidang ilmu-ilmu sosial. Pengamatan yang hati terhadap fakta empiris dan data panca indra adalah salah satu metode prinsip yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Diharapkan bahwa dalam ilmu pengetahuan sosial metode yang sama akan terbukti sangat bermanfaat dan berharga[4].
Dimulai dengan paruh kedua abad kesembilan belas, positivisme menyerbu semua cabang ilmu-ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu pengetahuan hukum. Positivisme hukum dengan teori positivistik pada umumnya berbagi keenganan kepada spekulasi metafisik dan untuk mencari prinsip-prinsip pokok. Positivisme menolak setiap upaya oleh para sarjana yurisprudensi untuk melihat dan mengartikulasikan ide hukum melampaui realitas empiris sistem hukum yang ada. Positivisme hukum Ini berusaha untuk mengecualikan pertimbangan nilai dari ilmu pengetahuan hukum dan untuk membatasi tugas ilmu ini untuk analisis dan pembedahan peraturan hukum positif. Para positivis hukum berpendapat bahwa hukum itu hanyalah hukum positif, yang dimaksudkan sebagai hukum positif adalah norma-norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara. Dalam kata-kata dari Hungaria ahli hukum Julius Moor, ‘positivisme hukum’ adalah sebuah pandangan yang menurutnya hukum itu dihasilkan oleh kekuatan penguasa dalam masyarakat dalam proses sejarah. Dalam pandangan ini satu-satunya hukum adalah yang merupakan perintah kekuatan yang berkuasa dan apa pun yang telah diperintahkan adalah hukum." Para positivist hukum juga bersikeras pada pemisahan ketat hukum positif dari etika dan kebijakan sosial, dan dia cenderung untuk mengidentifikasi keadilan dengan legalitas, yaitu ketaatan terhadap aturan yang ditetapkan oleh negara.[5]
W. Friedmann menyatakan bahwa seperti halnya penekanan atas kecenderungan-kecenderungan dalam filsafat teoritis yang bergeser dari metafisi ke empiris, sesuai dengan pergeseran spekulasi oleh gejala yang diamati dan penafsirannya dalam alam, begitu pula tumbuhnya porsitivisme analitis dalam ilmu hukum pergeseran tatanan duniawi yang tersusun tidak erat atau tatan gerejani internasional oleh Negara nasional modern. Munculnya Negara modern sebagai tempat penyimpanan yang kian lama kian khusus dari kekuasaan politik dan hukum, tidak hanya menimbulkan kelas professional, dari pegawai-pegawai sipil, para cendekiawan dan lain-lain, yang secara bertahap lebih memberikan loyalitas dan bakatnya kepada Negara nasional modern daripada kepada gereja internasional atau kaisar yang jauh dan tidak berdaya; yang lebih menuntut pengorganisasian sistem hukum, susunan hirarkis dari kekuasaan yang sah, dan disusunnya bahkan hukum yang terus meningkat jumlahnya ke dalam suatu sistem[6].
Lebih lanjut, W. Friedmann menyatakan bahwa Hart membedakan lima arti dari posistivisme seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yaitu: (1) anggapan bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (2) anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dn yang seharusnya ada, (3) anggapan bahwa analisa (atau studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan, dan (b) harus dibedakan dari peelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral, tuntutan-tuntutan sosial, fungsi-fungsinya, atau sebalaiknya, (4) anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu “sistem logis tertutup” di mana putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral, dan (5) anggapan bahwa penelitian-penelitian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti (non-cognitivisme dalam etika). Yang disebut paling akhir dari semua ini tidak dianggap unik bagi posistivisme analitis. Hal tersebut dibagi oleh gerakan ‘relativistik’ dalam ilmu hukum yang kadang meskipun secara keliru diidentifikasi dengan posistivisme. Dari empat lainnya, anggapan bahwa sistem hukum adalah “sistem logis yang tertutup” dekat hubungannya dengan dalil yang lebih umum tentang pemisahan yang tepat antara apa yang ada dan yang seharusnya ada. Yang terkena penyederhaan ini, perbedaan-perbedaan antara aspek-aspek yang bermacam-macam dari positivism analitis adapat dinilai dan penting.[7]
Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah asumsi filosofis yang paling fundamental dari posistivisme hukum. Pemisahan ini merupakan pancaran dari hukum alam yang lebih tinggi, maupun dari peleburan filsafat hukum dan ilmu pengetahuan hukum sebagaimana yang paling penting disajikan dalam sistem Hegel, pemisahan ‘yang ada’  dari ‘yang seharusnya ada’ sama sekali tidak meremehkan pentingnya nilai-nilai dalam hukum, sebagaimana dengan jelas dalam karya Austin, Kelsen dan yang lainnya. Pemisahan itu menepatkan keduanya dalam bidang-bidang yang benar-benar berbeda[8].
Suri Ratnapala, menyatakan bahwa positivisme hukum mengandung kemiripan dengan positivisme logis (logical positivism), tetapi berbeda dalam dalam beberapa cara. Positivism hukum bertujuan untuk mengidentifikasi hukum ‘yang ada’. Ini tampaknya mudah tapi tidak. Pertama ada pertanyaan, apa yang kita maksud dengan hukum? Kata “law” (atau bahasa yang sepadan) memiliki banyak arti. Kita dapat secara langsung menolak pengertian ‘law’ yang digunakan oleh scientist alam –seperti second law of thermodynamics or Newton’s three laws of motion. Hukum yang ilmiah adalah teori-teori tentang dunia alam –kenapa sesuatu terjadi, cara yang merka lakukan. Hukum yang menjadi perhatian kita adalah sangat berbeda jenisnya, yaitu, hukum yang memberitahu masyarakat apa yang mereka boleh lakukan, harus lakukan, atau harus tidak dilakukan. Kita menyebut hukum ini ‘hukum normatif’[9].
Ada beberapa tipe hukum normatif. Termasuk di dalamnya hukum agama, hukum moral, hukum adat dan hukum etik. Positivism hukum mengajukan teori-teori tentang bagaimana kita dapat membedakan hukum dalam pengertian legal dari hukum dalam pengertian non-legal. Teori-teori ini umumnya menghubungkan alat-alat hukum hanya kepada peraturan-peraturan yang diperoleh dari hukum yang membuat otoritas eksis sebagai kenyataan politik dan sosial. Sebuah aturan secara universal dapat diamati di dalam masyarakat tapi tidak akan dianggap sebagai hukum dalam buku-buku posistivisme kecuali hukum itu dibuat atau diakui oleh otoritas yang berkuasa. Hart adalah pengecualian di antara legal positivist. Dia berpendapat tidak ada alasan menolak nama “law” kepada aturan-aturan adat yang dijalankan oleh masyarakat primitive yang tidak mempunyai ‘pembuat undang-undang (legislatures) atau pengadilan atau otoritas lainnya. Dia menyebut aturan-aturan ini kewajiban peraturan primer. Demikian juga, Hart menganggap hukum internasional sebagai ‘law’, walaupun masyarakat internasional tidak mempunyai badan untuk membuat hukum dan kapasitas untuk menegakkan hukum yang kita harapkan pada sistem hukum nasional (1997, Ch. X). dia membuat pengematan yang jelas bahwa sistem hukum nasional yang dikembangkan umumnya memperlihatkan sekumpulan peraturan sekunder yang mengatur pengakuan kewajiban peraturan primer, perubahan-perubahan, penerapan-penerapannya (1997, Ch. X). Peraturan sekunder ini memberikan kewenangan/kekuasaan kepada badan tertentu untuk membuat, mengumumkan atau merubah hukum, dan mendefinisikan kekuasaan mereka dan prosedur-prosedur. Di dalam sistem common law, peraturan sekunder mendefinisikan kekuasaan pembuatan hukum legislature dan memberi kepada pengadilan kekuasaan untuk menafsirkan dan mengumumkan hukum yang relevan dalam kasus tertentu yang datang ke hadapan mereka. Peraturan sekunder dapaat ditemukan dalam konstitusi tertulis atau mungkin eksis, seperti di UK, dalam bentuk kebiasaan.            
II.       Tokoh Positivisme dan Pemikirannya
A.    John Austin and Ajaran Hukum Analitis
Pada tahun 1832, 50 tahun setelah disempurnakannya Of Laws in General milik Bentham, John Austin mempublikasikan The Province of Jurisprudence Determined. Pada tahun 1819 Austin bersama keluarganya pindah ke London dari Suffolk dan bertetangga dengan Bentham dan James Mill, pelopor paham utilitarian. Dia menjadi teman dekat Bentham, yang pemikirannya mempertajam Jurisprudence Austin. Province of Jurisprudence berisi sepuluh pertama serial ceramah tentang Jurisprudence yang Austin sampaikan di Universitas London dari 1829 sampai 1833. Ceramah-ceramah tersebut tidak popular dan harus dihentikan karena sepinya pengunjung. Walaupun, versi yang dipublikasikan, menjadi teks jurisprudence berbahasa Inggris yang yang paling berpengaruh lebih dari 100 tahun[10].
Karya John Austin tetap merupakan usaha yang paling lengkap dan penting untuk merumuskan suatu sitem positivisme hukum analitis dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat ‘yakni negara’ bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum sebagai[11]:
“peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya”.
Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan, didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk, yang didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam hal ini Austin sama dengan Hobbes dan para teoritisi kedaulatan lainnya; tetapi terserah Austin untuk memasukkan konsepsi ini ke dalam cabang-cabang sistem-sistem hukum modern[12].
Hukum pertama-tama dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), dan undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia). Dalam sistem Austin, kelompok undang-undang yang disebut duluan (hukum Tuhan) tidak memiliki arti yuridis, dibanding misalnya dengan ajaran Skolastik yang mengadakan hubungan organis antara hukum Tuhan dan hukum manusia. Dalam sistem positivismenya Austin, yang menolak menggabungkan hukum dengan kebaikan dan keburukan, hukum tampaknya tidak mempunyai fungsi lain daripada wadah-wadah kepercayaan utilitarian Austin. Prinsip kegunaan adalah hukum Tuhan. Pernyataan Bentham tentang kepercayaan ini sama sekali tidak mempengaruhi prinsip--prinsip pokok ajaran Austin[13].
Hukum manusia dapat dibagi ke dalam undang-undang yang disebut hukum sebenarnya (hukum positif) dan undang-undang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. hukum sebenarnya (hukum positif) adalah undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik (apakah yang tertinggi atau bawahan) untuk orang-orang politis yang merupakan bawahannya (seperti undang-undang dan undang-undang khusus), atau peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang, sebagai pribadi, berdasarkan hak-hak yang sah yang diberikan kepadanya. Sebagai contoh, Austin memberikan hak-hak kepada wali atas orang yang ada di bawah perwaliannya. Tetapi karena kekuatan hukum dari hak-hak semacam itu atas wali, maka jelas bahwa tiap hak pribadi yang dapat digunakan harus termasuk dalam kategori ini. Undang-undang yang ‘tidak sebenarnya’ adalah yang tidak diadakan –langsung atau tidak langsung- oleh kekuasaan politik. Dalam kategori ini ada beberapa macam peraturan yang berbeda: peraturan klab, undang-undang tentang mode; dalil-dalil tentang ilmu alam, peraturan-peraturan dari yang disebut hukum internasional. Semua ini oleh Austin diberi nama ‘moralitas positif’. Jadi menggambarkan baik dekatnya maupun perbedaannya dengan hukum positif.[14]     
Austin beranggapan bahwa hukum ‘yang sebenarnya’ mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum merupakan hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi. Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembebanan kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Ajaran-ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar bidang hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan tetapi secara yuridis tidak penting bagi hukum[15].
Karakteristik yang paling penting dari hukum positif, menurut doktrin Austinian, terdapat dalam karakter perintahnya. Hukum dipahami sebagai perintah dari penguasa. ‘Setiap hukum positif disusun oleh penguasa yang ditunjuk kepada seseorang atau orang-orang dalam keadaan tunduk kepada penulisnya." Tidak setiap perintah dianggap hukum oleh Austin. Hanya perintah-perintah umum, yang mengharuskan seseorang atau beberapa orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, pantas mendapatkan atribut hukum[16].
Ilmu pengetahuan hukum berkenaan dengan undang-undang positif atau undang-undang disebut tepat, kalau dipertimbangkan tanpa memandang kebaikan dan keburukannya. Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum,, yang ditentukan secara tegas sebagai yang berdaulat. Semua hukum positif atau tiap hukum yang disebut tepat, dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk anggota atau anggota-anggota masyarakat politik yang bebas, dalam mana orang atau badan itu berwenang atau yang tertinggi.[17]   
Kedaulatan menurut Austin adalah: “kalau seseorang yang berkuasa, yang tidak biasa tunduk pada seseorang berkuasa yang sama, dipatuhi oleh sebagian besar dari masyarakat tertentu, yang menetapkan bahwa yang berkuasa adalah yang berdaulat pada masyarakat itu, dan masyarakat (termasuk yang berkuasa) merupakan masyarakat politik yang bebas”[18].
Lebih lanjut Austin menjelaskan bahwa penguasa itu bisa individu, atau badan atau kumpulan individu-individu[19].
B.     Hans Kelsen dan Teori Hukum Murni
Tujuan Hans Kelsen (1881-1973) adalah untuk memurnikan ilmu pengetahuan hukum dari kriteria evaluative dan elemen-elemen ideologis. Keadilan, sebagai contoh, dipandang oleh Kelsen sebagai konsep ideologis. Keadilan baginya adalah "cita-cita yang tidak masuk akal" yang mewakili kegemaran subjektif dan pilihan nilai seorang individu atau kelompok. Penegasan biasa, tulisnya, "bahwa memang ada hal seperti keadilan, tetapi itu tidak bisa didefinisikan dengan jelas, keadilan sendiri adalah sebuah kontradiksi. Bagaimanapun, keadilan sangat diperlukan untuk  kemauan dan tindakan manusia, keadilan tidak tunduk pada pengertian. Dipandang dari pandangan pengertian rasional, hanya kepentingan dan karenanya konflik kepentingan. Teori hukum yang dipertahankan Kelsen, tidak dapat menjawab pertanyaan tentang apa yang merupakan keadilan karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara ilmiah sama sekali. Jika keadilan diberikan tanda makna yang bersifat ilmiah, maka harus diidentifikasi dengan legalitas. Menurut Kelsen, sesuatu itu ‘adil’ untuk aturan umum yang betul-betul diterapkan dalam semua kasus di mana menurut isinya, aturan ini harus diterapkan . "Keadilan berarti pemeliharaan peraturan positif oleh penerapan hukum yang bersungguh-sungguh.[20]
Tujuan metodologis Kelsen tidak berhenti pada penghapusan pertimbangan nilai politik dan ideologi dari ilmu pengetahuan hukum. Dia ingin melangkah lebih jauh dengan menjaga teori hukum bebas dari segala yang tidak ada hubungannya, faktor non hukum. "secara tidak kritis," katanya, "ilmu hukum telah dicampur dengan unsur psikologi, sosiologi, etika, dan teori politik." Dia berusaha untuk mengembalikan kemurnian hukum dengan mengisolasi komponen-komponen dari pekerjaan seorang pengacara atau hakim yang dapat diidentifikasi sebagai hukum[21].
Dasar-dasar esensial dari sistem Kelsen dapat disebut sebagai berikut[22]:
(1)   Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
(2)   Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya.
(3)   Hukum adalah ilmu pengetahuan normative, bukan ilmu alam.
(4)   Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
(5)   Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus.
(6)   Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum posistif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Dari dalil-dalil ini termasuk mudah untuk mengikuti hal-hal yang pokok dari teori hukum murni Kelsen. Dalam ketentuannya bahwa norma hukum berbeda dari norma moral, Kelsen sependapat dengan ajaran pokok mazhab analitis.
Kebenaran norma hukum berasal dari sumber eksternal dan ‘kaharusan’ yang khas dari hukum, yang dibedakan dari norma moral, adalah sanksinya. Ancaman sanksi yang harus dikenakan kalau sesuatu dilakukan atau tidak, merupakan ciri khas hubungan hukum. Sanksi semacam ini harus dilaksanakan oleh yang berwenang sehingga merupakan persoalan munculnya sumber norma-norma hukum. Ini adalah ajaran Austin, tetapi ada perbedaan yang penting. Bagi Austin hukum adalah perintah, bagi Kelsen, paksaan akan menempatkan unsur psikologis, yang asing bagi hukum. Norma hukum tidak mengenal perintah, tetapi suatu hubungan antara keadaan dan akibat. Kalau orang melakukan A, maka harus terjadi B. Hanya dalam arti ini hukum adalah suatu ‘yang seharusnya’. Jadi yang ada adalah hubungan subordinasi dan tiap sistem harus tertentu menyusun hirarki norma-norma, yang masing-masing dari sumber yang lebih tinggi. Akhirnya tiap norma hukum dalam suatu tatanan hukum tertentu mendapat keabsahannya dari norma dasar yang paling tinggi (groundnorm). Norma dasar ini sendiri tidak dapat dideduksi sehingga harus dianggap sebagai ‘hipotesa permulaan’. Bahwa parlemen yang berdaulat di Inggris adalah suatu norma dasar, tidak lebih logis daripada bahwa perintah Fuhrer adalah kewenangan hukum tertinggi bagi Nazi Jerman, atau bahwa suku-suku pribumi tunduk pada tukang sihir.[23]
Kita sudah melihat bahwa arti dari hukum oleh Kelsen telah direduksi pada sifat normatifnya. Dari sudut perspektif itu, maka tata hukum dipandang sebagai suatu sistem kaidah-kaidah yang tersusun secara hierarkikal, yang berlandaskan pada Grundnorm. Grundnorm ini harus dipahami dari sudut pandang hipotetikal: jika kita hendak memaparkan (mengerti) suatu tata hukum sebagai normative, maka kita harus memandangnya sebagai suatu ‘stufenbau’.[24]
Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan hubungan-hubungan antara norma-norma dasar dan semua norma di bawahnya, tetapi tidak untuk mengatakan apakah norma dasar sendiri baik atau buruk. Hal tersebut merupakan tugas ilmu politik atau etika atau agama.[25]
C.    Neo - Analitic dan Linguistic Jurisprudence
Kecenderungan ini menjadi nyata dalam karya eksponen paling berpengaruh dari gerakan baru, filosof hukum Inggris Herbert LA Hart (b.1907). Ketegangan analitik yang nyata dalam pemikiran Hart jelas terlihat dalam tesisnya bahwa kunci ilmu yurisprudensi harus ditemukan dalam kombinasi dari dua kategori aturan, yang dia sebut primer dan sekunder. Aturan primer adalah mode standar tingkah laku yang mewajibkan anggota masyarakat untuk melakukan, atau menghindarkan diri untuk melakukan beberapa jenis tindakan. Aturan-aturan ini muncul dari kebutuhan masyarakat dan dirancang untuk menjamin cara memuaskan kehidupan. Akar kekuatan mengikat aturan-aturan tersebut terletak pada diterimanya aturan-aturan oleh mayoritas, dan tekanan yang kuat untuk memperhatikan mereka yang diberikan oleh mayoritas kepada anggota masyarakat yang tidak kooperatif[26].
Menurut Hart, sistem hukum yang dikembangkan juga harus memiliki satu set aturan "sekunder" yang membentuk mesin resmi untuk pengakuan dan penegakan aturan primer. Pertama-tama, mereka bermanfaat untuk mengidentifikasi ketentuan yang berlaku dan hidup dari sistem dalam beberapa mode otoritatif . Kedua , mereka membuat ketentuan untuk prosedur yang teratur dan formal yang dirancang untuk memodifikasi aturan primer. Ketiga, mereka menjamin pelaksanaan aturan primer dengan mengadakan perincian proses ajudikasi dan penegakan hukum[27].
Hal ini jelas bahwa pandangannya tentang hukum menghindari pandangan sepihak perintah Austinian dan berusaha untuk membangun jembatan antara konsepsi penting dan sosiologis hukum. Hart juga berupaya untuk mengurangi konfrontasi tajam yang sering ditandai hubungan antara positivis hukum dan percaya dalam hukum alam. Dia mengakui teori hukum kodrat bahwa "ada aturan tertentu perilaku yang setiap organisasi sosial harus berisi jika masih layak" dan bahwa aturan tersebut pada kenyataannya merupakan unsur umum dalam hukum semua masyarakat . Dia telah , di sisi lain , sangat membela aksioma positivistik bahwa tugas " kesetiaan kepada hukum" mencakup semua peraturan yang berlaku dengan uji formal sistem hukum meskipun beberapa dari mereka mungkin tegas bertentangan dengan arti moral masyarakat[28].
Profesor Hart juga telah menundukkan konsep kedaulatan Austinian kepada sebuah pencarian kritik, telah menulis secara luas tentang filsafat hukum pidana, dan terlibat dalam analisis mendalam tentang metode hukum dan proses peradilan. Tulisan-tulisannya telah menghasilkan komentar dan reaksi yang luas di seluruh lingkaran hukum Anglo-Amerika[29].
Peran bahasa dalam hukum ditekankan di Inggris oleh Glanville Williams (lahir 1911) dan di Amerika Serikat oleh Walter Probert (lahir 1925). Dies dari Williams, dalam studi semantic hukumnyanya, telah menetap secara luas pada ambiguitas kata dan karakter yang membuat emosi dari beberapa istilah hokum. William telah mengambil posisi bahwa kebingungan yang besar telah ditimbulkan oleh penggunaan konsep hokum yang membawa banyak arti yang berbeda, itu tidak dapat diterima untuk berbicara tentang "tepat" arti dari sebuah kata, dan bahwa untuk meresapi nilai dalam istilah seperti "keadilan," "salah”, atau "aturan hukum" melayani emosional daripada fungsi rasional. Probert telah menekankan perlunya "kata kesadaran" pada bagian dari pengacara , semenjak ia menganggap bahasa “instrumen utama dalam kontrol sosial”. Norma dan aturan sudah menjadi sifatnya ambigu, dia menegaskan, dan jantung dari proses common law di pengadilan adalah bukan aturan (walaupun aturan-aturan terlibat di dalamnya) tetapi retorika. Pandangan semantik hukumnya mengantarkan dia untuk mendefinisikan keadilan sebagai "pencarian beberapa panduan lisan untuk membantu dalam memilih di antara tempat bertanding.
Analitik modern dan ilmu hukum semantik menerima banyak stimulasi dari karya Ludwig Wittgestein (1889-1951), seorang filsuf kelahiran Austria yang kemudian mengajar di Universitas Cambridge dan mampu mempengaruhi tren pemikiran filsafat secara meyakinkan di lingkaran Anglo-Amerika. Dalam Tractatus Logiconya Philosophicus-nya Wittgenstein melakukan analisis bahasa, sebuah keberanian manusia berusaha yang dia gambarkan sebagai gambar dari fakta-fakta yang merupakan realitas. Dia menyatakan bahwa semua filsafat adalah kritik terhadap bahasa, itu tujuannya adalah klarifikasi logis dari pikiran dan hal itu sangat penting untuk menguraikan arti dari kalimat dan preposisi yang rumit dengan melarutkan mereka ke dalam unsur pokok dasarnya. Wittgenstein menolak gagasan bahwa itu adalah tugas filosuf untuk mengajukan penjelasan tentang cara kerja alam semesta, atau untuk menyarankan individu atau masyarakat bagaimana melakukan urusan mereka. Dia tidak menyangkal bahwa manusia dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dari etika dan nilai , tetapi dia menganggap bahwa pertanyaan seperti itu berada di bidang mistik,  di mana proposisi yang bermakna tidak bisa diungkapkan[30].









[1] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (New York: Cambridge University Press, 2009), hlm. 22
[2] Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy And Method Of The Law, (New Delhi: Universal Book Traders, 1996), hlm. 91
[3] Ibid, hlm. 91-92
[4] Ibid, hlm. 92-93
[5] Ibid, hlm. 94-95
[6] W. Firedmann, Teori & Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Sususnan I, II, III), diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 147
[7] Ibid, hlm. 147-148
[8] Ibid, hlm. 148
[9] Suri Ratnapala, Op. Cit. hlm. 25
[10] Ibid, hlm. 36
[11] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 149
[12] Ibid, hlm. 149
[13] Ibid, hlm. 149
[14] Ibid, hlm. 150
[15] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1980), hlm. 39
[16] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 97
[17] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 150-151
[18] Ibid, hlm. 151
[19] Ibid, hlm. 151
[20] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 100
[21] Ibid, hlm. 100-101
[22] W. Firedmann, Op. Cit, hlm. 170
[23] Ibid, hlm. 171
[24] B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), hlm. 74-75
[25] W. Firedmann, Loc. Cit
[26] Edgar Bodenheimer, Op. Cit, hlm. 105
[27] Ibid, hlm. 105
[28] Ibid, hlm. 105
[29] Ibid, hlm. 106
[30] Ibid, hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar