Kamis, 25 Februari 2010

PANSUS ANGKET BANK CENTURY TIDAK BERWENANG MENYEBUT NAMA

Pembacaan pandangan akhir fraksi-fraksi dalam Panitia Khusus Angket Bank Century ternyata masih saja menyisakan perdebatan berkaitan dengan penyebutan nama-nama orang maupun lembaga yang bertanggungjawab atas proses bail out bank century.
Sebagaimana diketahui dalam pandangan akhir fraksi-fraksi pada hari Selasa tanggal 26 Pebruari 2010, 4 fraksi, yaitu: fraksi Golkar, PKS, PDIP dan Hanura secara tegas menyebutkan nama dan 3 fraksi, fraksi Gerindra, PPP dan PAN menyebutkan lembaga.
Pro-kontra dalam beberapa hari ini telah menghiasi pemberitaan media. Tidak kurang Menteri Kordinator Polhukum dan Menteri Hukum dan HAM pun telah memberikan pendapatnya. Pertanyaannya, bagaimanakah seharusnya menurut hukum?
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat, kata “angket” tidak diberikan definisi yang secara tegas. Hanya dalam pertimbangan Undang-undang itu kata angket itu disamakan dengan penyelidikan. Untuk lebih jelas berikut kami kutip:
“Bahwa hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengadakan penyelidikan (angket) perlu diatur dengan undang-undang”

Berdasarkan pertimbangan tersebut, secara jelas dapat dipahami bahwa pemeriksaan pansus angket itu adalah proses penyelidikan.

Karena proses penyelidikan adalah istilah baku dalam hukum pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka sudah seharusnya definisi penyelidikan dikembalikan ke definisi yang diatur dalam KUHAP. Dalam Pasal 1 Poin (5) disebutkan: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.

Dari definisi tersebut di atas dikaitkan dengan Pansus Angket Century, maka dapat disimpulkan 2 (dua) hal:

1. Bahwa Pansus Angket Bank Century itu adalah Penyelidik yang memiliki landasan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1954.

2. Bahwa seharusnya Pansus Angket Bank Century hanya menyebut dugaan tindak pidana
yang telah terjadi dan kemudian merekomendasikan untuk dilakukannya tindakan
penyidikan.

Bahwa karena proses penyelidikan adalah tidak dimaksudkan untuk mencari dan menemukan tersangka dari suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi, maka sekiranya dapat dipernilai bahwa tindakan Pansus Angket Bank Century yang menyebutkan nama orang maupun lembaga adalah sangat berlebihan. Semestinya penyebutan nama orang atau lembaga itu dilakukan dan menjadi tugas dan kewenangan dalam proses penyidikan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 poin (2) KUHAP, sebagai berikut:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Jumat, 12 Februari 2010

Hukuman Mati Tidak Melanggar Konstitusi


Tuntutan hukuman mati Jaksa Penuntut Umum terhadap Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ternyata tidak saja menimbulkan perdebatan antara JPU dengan PH Antasari Azhar tentang layak atau tidaknya Antasari Azhar dituntut hukuman mati tapi juga membuka lembaran perdebatan lama berkaitan dengan keberlakuan hukuman mati di Indonesia.

Kalangan yang tidak setuju pemberlakuan hukuman mati kembali bersuara dan “meneriakkan” bahwa hukuman mati melanggar konstusi. Salah satu di antaranya, Ketua YLBHI, Patra M. Zen, dalam harian Kompas dan hukumonline.com, menyatakan bahwa penjatuhan hukuman mati potensial melanggar konstitusi. Argumennya didasarkan pada bunyi Pasal 28I ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa ”hak untuk hidup .... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”. Ketentuan ini telah menegasikan keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia. Lahirnya Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak bisa tidak berakibat pada inkonstitutionalitas hukuman mati.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu untuk disampaikan bahwa berkaitan dengan keberlakuan hukuman mati di Indonesia sudah pernah diajukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keberlakukan hukuman mati khususnya hukuman mati yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

Pada tahun 2007, Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran Sukumaran dan Andrew Chan telah mengajukan judicial review terhadap terhadap Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a dan Pasal 82 ayat (3) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika yang mengancam pelaku tindak pidananya dengan hukuman mati.

Bahwa atas atas permohonan judicial review tersebut, MK secara tegas telah menolak permohonan tersebut. Dalam Putusannya Nomor No. 2-3/PUU-V/2007. MK berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi. Beberapa alasan yang dijadikan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut adalah :

1. Bahwa menurut sejarah penyusunan Pasal 28I UUD 1945, sebagaimana diterangkan pada persidangan tanggal 23 Mei 2007 oleh Lukman Hakim Saefuddin, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, yang pada intinya menerangkan bahwa tatkala merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dari ketetapan MPR tersebut kemudian lahir Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya (Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999) adalah sama yaitu menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebasbebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Keterangan senada juga disampaikan oleh Patrialis Akbar, mantan anggota PAH I BP MPR lainnya, pada persidangan yang sama. Dari jawaban-jawaban kedua mantan anggota PAH I BP MPR atas pertanyaan Kuasa Pemohon, Pemerintah, Pihak Terkait Badan Narkotika Nasional, dan Hakim Konstitusi dalam persidangan, hal penting yang didapat adalah bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.“... kembali saya tegaskan bahwa keberadaan Pasal 28J ini adalah pasal, satu-satunya pasal, yang terdiri dari dua ayat yang justru bicara kewajiban, padahal babnya hak asasi manusia. Dan sengaja ditaruh di pasal yang paling akhir sebagai kunci dari Pasal 28A sampai Pasal 28I, demikian ditegaskan oleh Lukman Hakim Saefuddin.

Dengan seluruh uraian pada angka 1) di atas, tampak bahwa dilihat dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

2. Dilihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, juga tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang, sebagai berikut:

a. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

b. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

c. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasankebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

d. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan faham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi-konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

3. Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang hak asasi manusia sebagaimana diuraikan pada angka 2) di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, sebagai berikut:

a. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 selain memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

b. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

4. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan juga anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) secara moral perlu memperhatikan isi Deklarasi Cairo Mengenai Hak-hak Asasi Islami yang diselenggarakan oleh OKI yang dalam Pasal 8 huruf a deklarasi tersebut menyatakan, “Kehidupan adalah berkah Tuhan dan hak untuk hidup dijamin bagi setiap umat manusia. Adalah tugas dari individu, masyarakat dan negara-negara untuk melindungi hak-hak ini dari setiap pelanggaran apa pun, dan dilarang untuk mencabut kehidupan kecuali berdasarkan syariat”. Sehingga, menurut pandangan negara-negara anggota OKI, pencabutan hak untuk hidup yang tidak didasarkan atas hukum yang bersumber dari syariat itulah yang dilarang;

5. Mahkamah telah pernah menjatuhkan putusan dalam permohonan pengujian undang-undang yang mendasarkan dalil-dalil pengujiannya pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yaitu dalam pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares. Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam hubungan ini, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya, sebagaimana selengkapnya dapat dibaca dalam Putusan Nomor 065/PUU-II/2004, yang pada intinya menegaskan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga Mahkamah berpendirian bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Oleh karena hak untuk hidup juga termasuk ke dalam kelompok hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, maka pertimbangan hukum dan pendirian Mahkamah tersebut berlaku pula terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan hak untuk hidup (right to life) dalam permohonan a quo;

6. Bukti lain yang menunjukkan ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty. ICCPR, Pasal 6 ayat (2) menyatakan, “In countries which have not abolished death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of Crime of Genocide.This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court”.

Berdasarkan Putusan MK di atas, secara yuridis formal tidak bisa tidak harus ditafsirkan bahwa Hukuman Mati adalah konstitusional. Berdasarkan hal tersebut, maka perdebatan konstutional tidaknya hukum mati di Indonesia adalah tidak relevan lagi