KESADARAN
DAN KETAATAN HUKUM
I. Pengantar
Selama ini, kita sering mendengar dan menggunakan
istilah “kesadaran hukum” dan “ketaatan hukum”, namun sayangnya tidak jarang,
tanpa kita sadari menyamakan 2 (dua) istilah hukum tersebut, padahal itu
keliru.
Nah dalam makalah ini kami ingin mengupas tentang hal
tersebut, guna meluruskan persepsi yang keliru tersebut.
Ewick dan Sylbey, merumuskan “kesadaran hukum” itu
mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memahami hukum dan institusi-institusi
hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan
tindakan orang-orang. Bagi Ewick dan Sylbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam
tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris.
Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan “hukum sebagai perilaku” dan
bukan “hukum sebagai aturan” norma atau asas”.[1]
Satjipto Raharjo menyatakan ilmu hukum sebagai sebenar
ilmu (genuine science) tidak hanya
harus dapat membaca hukum yang dikonstruksikan, melainkan juga hukum sebagai
perilaku tersebut. Ilmu hukum itu tidak dapat memaksakan, melainkan dengan
terbuka melihat dan menerima apa yang terjadi dalam kenyataan dan kemudian
menjelaskannya. Dalam kenyataan, kehadiran hukum sebagai perilaku itu sama
sekali tak dapat digusur atau dipinggirkan oleh skema-skema hukum yang sengaja
dibuat oleh manusia. System hukum modern itu akan tetap berdampingan dengan hukum
yang muncul secara spontan, seperti dalam bentuk perilaku itu[2].
II. Kesadaran
hukum
Di dalam literatur-literatur hukum yang ditulis oleh
pakar-pakar terkenal di dunia dibedakan adanya dua macam kesadaran hukum[3],
yaitu:
(1)
Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum, berada dalam
hukum, sesuai degan aturan hukum yang disadarinya atau dipahaminya.
(2)
Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau
melanggar hukum.
Achmad Ali, menyatakan kesadaran hukum, ketaatan hukum
dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang salib berhubungan. Sering orang
mencampur adukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua hal
itu, meskipun sangat erat hubungannya, namun tetap tidak persis sama. Kedua
unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan
perundang-undangan di dalam masyarakat.[4]
Krabbe[5]
(dalam Paul Scholten, 1954:166) memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud
sebagai kesadaran hukum:
“met den term rechtsbewustzijn meent men niet het rechtsoorrdeel over
eenig concrete geval, doch he in ieder mensch levend bewustzijn van wat recht
is of behoort tezijn, een bepaalde categorie van ons geesteleven, waardoor wij
met onmiddelijke evidentie los van positieve instellingen scheiding maken
tusschen recht en onrecht, gelijk we dat doen en onwaasr, goed en kwaad, schoon
en leelijk”
Terlihat di atas bahwa bagi Krabbe, kesadaran hukum
sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri
manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada.
Definisi Krabbe tersebut, sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud sebagai
kesadaran (rechtsbewustzijn; legal
consciousness). Pengertian ini akan lebih lengkap lagi, jika ditambahkan
unsur nilai-nilai masyarakat, tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh
hukum dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Paul Scholten (1954:
168-169):
“De term rechtsbewustzijn is
dubbelzinnif. Hij duidt ten eerte categorie van het individueele geestesleven aan,
doch dient tegelijk om het gemeenschappelijke in oordelen in een bepaalden
kring aan te wijzen…Wat we “rechtsbewustzijn” noemen is in dit verbandt niet
anders dan een min of meer vage voorstelling omtrent wat recht behoort te
zinj…”.
Kesadaran
hukum yang dimiliki oleh warga masyarakat, belum menjamin bahwa warga
masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan.
Kesadaran seseorang bahwa mencuri itu salah atau jahat, belum tentu menyebabkan
orang itu tidak melakukan pencurian, jika pada saat di mana ada tuntutan
mendesak, misalnya, kalau dia tidak mencuri, maka anak satu-satunya yang sedang
sakit keras akan meninggal, karenanya tidak ada biaya pengobatan. Atau contoh
lain, seseorang mempunyai kesadaran hukum bahwa melanggar lampu merah di “traffic light” adalah pelanggaran hukum,
dan menyadari pula bahwa hanya polisi yang berwenang untuk menangkap dan
menilangnya, orang itu, dengan kesadaran hukumnya tadi, belum tentu tidak
melanggar lampu merah. Ketika orang itu melihat tidak ada polisi di sekitar traffic light, maka orang itu, karena
terburu-buru untuk tidak terlambat menghadiri suatu acara penting, mungkin saja
melanggar lampu merah, sekali lagi dengan kesadaran hukumnya, bahwa dirinya
tidak akan tertangkap dan tidak akan dikenai tilang, karena tidak ada seorang
pun polisi di sekitar itu.
Soerjono
Soekanto (9182: 125-256, 1983:96)[6],
mengemukakan empat indikator kesadaran hukum, yaitu:
a.
Pengetahuan
tentang hukum;
Pengetahuan hukum diartikan sebagai kesan di dalam
pikiran seseorang mengenai hukum-hukum tertentu. Di sini pun kita harus
berhati-hati, oleh karena ada pelbagai arti hukum; lagipula pengetahuan tentang
hukum mungkin hanya terbatas pada hukum yang secara langsung mengatur kepentingan
orang yag bersangkutan. Seorang warga masyarakat hukum ada, misalnya mungkin
tidak tahu tentang hukum positif tertulis tertentu (misalnya mengenai
Undang-Undang Pokok Agraria), akan tetapi dia mengetahui menganai hukum adat
yang berlaku di dalam masyarakatnya. Apakah orang tersebut tahu hukum, atau
tidak tahu hukum?..
b.
Pemahaman
tentang hukum;
c.
Sikap
terhadap hukum; dan
d.
Perilaku
hukum.
Sebenarnya pendapat Sorjono Soekanto tersebut diadopsi
dari pendapat beberapa pakar lain, yaitu pendapat dari B. Kutchinsky
(1973:134), A. Podgrecki (1973:83), dan Y. Dror (1968: 167).
Menurut B. Kutchinsky (1973:134):
1.
Law awareness is…awareness of the very fact that
certain type of behavior ir regulated bay law.
2.
Law acquaintance is…the amount of information a person
has about the content matter of a certain normative regulation.
Sedangkan menurut A. Podgrecki (1973:83):
Legal
attitude is…
a.
… a disposition to accept some legal norm or precept
because it deserve respect as valid piece of law.
b.
… a tendency to accept the legal norm or precept
because it appreciated as advantageous
or useful…
Dan menurut Y. Dror (1968: 167):
Legal
behavior is … legally desired behavior.
Mengeanai
unsur pengetahuan tentang hukum, B. Kutchinsky (1973:134) mengemukakan bahwa :
“knowledge
about the law is neither a necessary nor a sufficient condition for conformity
to the law”.
Sudikno
Mertokusumo[7],
kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa
hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan
kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena
jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam
pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya
pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu
dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala
sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa
hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang
dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling
bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih
dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan
“Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya
terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan
lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi
pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai
kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama
kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan
tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala
macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama
baiknya, pembunuhan dan sebagainya. Maka oleh karena itulah manusia memerlukan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan
kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum
masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan
dan kaedah kesopanan.
Masalah kesadaran hukum, menurut Selo Sumarjan berkaitan
erat dengan faktor-faktor sebagai berikut : a. Usaha-usaha menanamkan hukum
dalam masyarakat, yaitu menggunakan tenaga manusia, alat-alat, organisasi, dan
metode agar masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum b.
Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku c.
Jangka waktu penanaman hukum diharapkan dapat memberikan hasil[8].
Lebih
lanjut Ewick dan Silbey (1992) membedakan beberapa jenis “kesadaran” sebagai
berikut:
a.
Consciousness as attitude (kesadaran sebagai sikap)
Konsep tentang kesadaran ini menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok sosial dari semua ukuran atau tipe (keluarga-keluarga,
kelompok-kelompok sebaya, kelompok-kelompok kerja, perusahaan-perusahaan,
komunitas-komunitas, institusi-institusi hukum, dan masyarakat-masyarakat),
muncul dari tindakan-tindakan bersama individu-individu.
Tradisi liberal klasik, baik dalam teori politik
maupun teori hukum, menggunakan konsep kesadaran ini. Menurut pendekatan ini,
masyarakat politis adalah …suatu asosiasi individu-individu yang menentukan
dirinya sendiri, yang menyatuan keinginan-keinginan mereka dan mengumpulkan
kekuasaan mereka di dalam Negara, untuk tujuan-tujuan kepentingan diri sendiri
yang sama-sama menguntungkan. Dalam hal ini kesadaran terdiri atas, baik nalar
maupun keinginan (hasrat), meskipun demikian, menurut ideology liberal,
keinginan, yang tetap dikaji dan tidak dijelaskan, adalah bagian yang
menggerakkan aktif atau primer dari diri … apa yang membedakan orang-orang satu
dari yang lain, bukanlah bahwa mereka memahami dunia secara berbeda, tetapi
bahwa mereka menginginkan hal-hal yang berbeda, bahkan ketika mereka berbagi
pemahaman yang sama tentang dunia tersebut. di sini personalitas manusia
menjadi terlepas dari sejarah; manusia dapat dan memang membuat sejarah.
Dengan mengikuti konsep “sikap” tentang kesadaran hukum ini, banyak ilmu
sosial Amerika Serikat pasca Perang Dunia II yang berusaha untuk
mendukmentasikan variasi dalam keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan
tindakan-tindakan di antara para warga Amerika, sebagai suatu sarana untuk
menjelaskan bentuk dari institusi-instusi politik dan institusi-institusi hukum
Amerika. Ironisnya, meskipun terdapat fokus sentral pada kapasitas dari
keinginan-keinginan, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap individual untuk membentuk
dunia, tetapi riset yang dihasilkan, bukannya menggambarkan variasi individual,
sebaliknya consensus normative mendalam, yang berbasis luas. Sementara para
warga mengekspresikan skeptisisme yang permanen tentang keadilan
institusi-institusi hukum, mereka tampak terikat, baik terhadap disukainya
maupun terhadap kemungkinan merealisasikan ideal-ideal hukum untuk perlakuan
yang sama dan adil.
Belakangan, Tom Tyler dan Aland Lind, telah
mendokumentasi katerikatan warga Amerika kepada ideal-ideal keadilan dan due process yang sama, tentang apa yang
ditandai sebagai keadilan procedural. Tyler dan Lind menunjukkan bahwa
orang-orang mengevaluasi pengalaman-pengalaman hukum mereka, dalam kerangka
proses-proses dan bentuk-bentk interaksi, ketimbang hasil-hasil dari
interaksi-interaksi tersebut. dengan perkataan lain, sikap-sikap tentang hukum,
berkorelasi kuat dengan putusan-putusan tentang keadilan procedural yang
digunakan oleh otritas-otoritas hukum, ketimbang dengan apakah orang menjadi
menang atau kalah di dalam proses tersebut. orang-orang peduli untuk memiliki
otoritas-otoritas yang netral, jujur, yang membiarkan mereka untuk mengemukakan
pandangan-pandangan meraka dan yang memperlakukan mereka dengan bermartabat dan
hormat. Riset sikap ini menunjukkan bahwa “orang-orang kaya lebih tampil ke
depan” ketimbang orang miskin, dan hal itu disebabkan karena warga menilai
prosedur lebih besar ketimbang substansi. Struktur system hukum yang
terstratifikasi, dengan demikian, ditopang oleh suatu “procedural consciousness”
(kesadaran prosedural), yang direpresentasikan dalam komitmen-komitmen warga
Negara terhadap formal equality
(persamaan formal) ketimbang substantive
equality (persamaan substantive).
b.
Consciousness as epiphenomenon (kesadaran sebagai epiphenomenon)
Beberapa ilmuwan menganggap “kesadaran” sebagai produk
samping dari operasi struktur-struktur sosial, ketimbang agen formatif dalam
membentuk struktur-struktur. Dengan demikian, para ilmuwan strukturalis dan
Marxis, beargumentasi bahwa individu-individu adalah pembawa-pembawa dari
hubungan-hubungan sosial, dan sebagai konsekuensinya, adalah hubungan-hubungan
sosial, bukannya individu-individu, itulah yang merupakan objek analisis yang
tepat.
Mengikuti perspetif ini, maka beberapa ilmuwan memandang hukum maupun
kesadaran hukum, sebagai epiphenomenon, yaitu, suatu struktur ekonomi
terpenting untuk memproduksi suatu tertib hukum yang berkaitan atau yang tepat.
Karya ini sering menggambarkan bagaimana kebutuhan-kebutuhan produksi dan
reproduksi kapitalis, membentuk perilaku dan kesadaran hukum. Kajian-kajian
memfokuskan pada produksi dan praktik hukum, akomodasi kepentingan-kepentingan
kelasnya, dan stratifikasi serta ketidakadilan-ketidakadilan yang dihasilkan.
Riset belakangan dalam perspektif struktualis ini,
menunjukkan bahwa tertib hukum berkembang sebagai tanggapan terhadap
konflik-konflik dan ketidakkonsistenan yang dihasilkan oleh mode produksi
kapitalis, ketimbang sebagai suatu instrument langsung dari kepentingan-kepentingan
kelas tertentu.
Untuk melegitimasi ketidakkonsistenan- ketidakkonsistenan
dan irrasionalitas-irrasionalitas yang dilahirkan dari konstradiksi-kontradiksi
system ekonomi, maka tertib hukum, membentuk mitos-mitos, menciptakan
lembaga-lembaga penindas dan berusaha untuk mengharminisasikan eksploitasi
dengan kebebasan, perampasan dengan pilihan, kesepakatan-kesepakatan kontrak
yang secara inheren tidak adil, dengan suatu ideology kemauan bebas,. Meskipun
demikian, bahkan di dalam formulasi yang lebih kompleks ini, hukum dan
kesadaran hukum, masih merupakan produk-produk ketimbang produsen-produsen
hubungan sosial.
Dalam kaitan itu, beberapa literature telah
memfokuskan pada “false consciousness”
(kesadaran palsu) atau “the inability of
subjects” (ketidakmampuan para subjek), khususnya para anggota dari kelas
pekerja, untuk mempersepsi minat-minat mereka yang sebenarnya atau mengenali
kepentingan-kepentingan yang bertentangan.
Suatu pandangan alternatif di dalam tradisi
struktualis, memandang bahwa “kesadaran hukum” adalah salah satu dari
cara-cara, yang di dalamnya, organisasi-organisasi sosial menghasilkan
sarana-sarana untuk mewenangkan, menopang, dan memproduksi dirinya sendiri.
Dengan memfokuskan pada pelegitimasian fungsi-fungsi hukum, maka riset memberi
gambaran tentang cara-cara, yang di dalamnya hukum membantu orang-orang untuk
memandang dunia mereka, baik privat maupun public, sebagai sesuatu yang alami,
ketimbang sebagai sesuatu yang dibentuk melalui interaksi sosial.
c.
Consciousness as cultural practice (kesadaran sebagai praktek kultural)
Kita telah
menjumpai bahwa ketika kita mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh
orang-orang kepada kita, tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan mereka,
tentang lingkungan-lingkungan tetangga mereka, tentang membeli dan menjual
barang-barang, tentang berurusan dengan para pejabat public di sekolah-sekolah,
para aparat pemerintah local, dan pencatatan-pencatatan, mereka juga
mengungkapkan kompleksitas yang menyimpang dari konsep-konsep ini. Dalam bahasa
aslinya, Ewick dan susan (dalam Cotterell, 2001:13-14) mengacu pada pendapat
Anthony Giddens (sociology: A Brieft But Critical Intrduction, 1987)
mengemukakan bahwa:
“we
conceive of consciousness as part of reciprocal process in which the meanings
given by individuals to their world, and law and legal institutions as part of
that world, become repeated, patterned and stabilized, and those institutionalized stuctures become part of
the meaning systems employed by individuals…”.
Meskipun
kesadaran hukum dapat muncul, menurut perspektif ini, merupakan kemunculan baru,
bersifat kompleks dan bergerak tetapi juga harus diketahui bahwa kesadaran hukum
mempunyai bentuk dan pola. Variasi-variasi yang memungkinkan dalam kesadaran hukum,
dibatasi secara situasional dan organisasional. Ketimbang berbicara tentang
makna sebagai suatu proses yang diindividualkan, kita menekankan bahwa di dalam
setiap situasi atau lingkungan, hanya terdapat sejumlah terbatas,
interpretasi-interpretasi yang tersedia untuk melekatkan makna kepada hal-hal
dan peristiwa-peristiwa. Sama halnya, akses ked an pengalaman dengan
situasi-situasi yang darinyalah interpretasi-interpretasi muncul dan tersedia
secara berbeda. Dalam hal ini, perhatian kepada kesadaran, menekankan
konstruksi kolektif dan penghalang-penghalang yang bekerja di dalam setiap
lingkungan atau komunitas dan juga kerja subjek dalam membuat
interpretasi-interpretasi dan melekatkan makna-makna.
III. Ketaatan
Hukum
Dalam berbagai literatur diuraikan bahwa ternyata
seseorang menaati hukum alias tidak melanggar hukum, selain akibat faktor jera
atau takut setelah menyaksikan atau mempertimbangkan kemungkinan sanksi yang
diganjarkan terhadap dirinya jika ia tidak menaati hukum, maka juga bisa saja
seseorang menaati hukum, karena adanya tekanan individu lain atau
tekanankelompok. Jika suatu kelompok anutan menentang keras suatu tindakan yang
melanggar hukum, maka akan dapat mencegah seseorang individu memutuskan untuk
menaati suatu aturan hukum karena alasan moral personalnya. Sebaliknya, seorang
individu lainnya, dapat memutuskan tidak menaati suatu aturan hukum, juga
karena alasan moral.
Ketaatan hukum sendiri, masih dapat dibedakan
kualitasnya dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakan oleh H. C. Kelman
(1966:140-148, maupun L. Pospisil (1971)[9]:
a.
Compliance, yaitu: an
overt acceptance induced by expectation of rewards and an attempt to avoid
possible punishment-not by any conviction in the desirability of the enforced
rule. Power of the influencing agent is based on “means-control” and as a
consequence, the influenced person conforms only under surveillance.
b.
Identification, yaitu: an
acceptance of a rule not because of its instrinsic value and appeal but because
of a person’s desire to maintain membership in a group or relationship with the
agent. The source of power is the attractiveness of the relation which the
person enjoy with the group or agent, and his conformity with the rule will
dependent upon the salience of these relationships.
c.
Internalization, yaitu: the acceptance
by an individual of a rule or behavior because he finds its content
intrinsically rewarding…the content is congruent with a person’s values either
because it has been so from the start of the influence or because his values
changed and adapted to inevitable.
Di dalam realitasnya, berdasarkan konsep H.C Kelman
tersebut, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum hanya karena ketaatan
salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena compliance, dan tidak karena identification
atau internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang menaati suatu aturan
hukum, berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus. Selain
karena aturan hukum itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinsic yang
dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan
baiknya dengan pihak lain.
L. Pospisil (1971), menjelaskan lebih lanjut tentang
ketaatan yang bersifat internalization:
“internalization
of a rule of behavior does not necessarily mean that such a rule is always
maintained in actual behavior. There are situations in which the individual
either breaks the rule in the spur of the moment. Without much thinking, or he
consciously compromises a moral conviction for an immediate, and strong enough
reward”.
Achmad Ali menyatakan bahwa dengan mengetahui adanya
tiga jenis ketaatan tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran
ditaatinya suatu aturan hukum atau perundang-undangan sebagai bukti efektinya
aturan tersebut, tetapi paling tidaknya juga harus ada perbedaan kualitas
efeketifitasnya. Semakin banyak warga masyarakat yang menaati suatu aturan hukum
atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan yang bersifat “compliance” atau “identification” saja, berarti kualitas efektifitasnya masih
rendah; sebaliknya semakin banyak ketaatannya “internalization”, maka semakin tinggi kualitas efektifitas aturan hukum
atau perundang-undangan itu.[10]
Lebih lanjut Achmad Ali[11]
menambahkan jenis ketaatan hukum, yang disebutnya sebagai teori ketaatan hukum
karena kepentingan. Menurut Achmad Ali, apabila direnungkan baik-baik, ternyata
jika seseorang disodori dengan keharusan untuk memilih, maka seseorang akan
menaati aturan hukum dan perundang-undangan, hanya jika dalam sudut pandangnya,
keuntungan-keuntungan dari suatu ketaatan, ternyata melebihi biaya-biayanya
(pengorbanan yang harus dikeluarkannya). Diakui oleh Achmad Ali bahwa
pandangannya ini dipengaruhi oleh pandangan mazhab hukum ekonomi, yang
memandang berbagai faktor ekonomi sangat memengaruhi ketaatan seseorang, termasuk
di dalamnya, keputusan seseorang yang bertalian dengan faktor “biaya” atau
“pengorbanan”, serta “keuntungan” jika ia menaati hukum; juga faktor yang turut
menentukan taat atau tidaknya seseorang terhadap hukum, sangat ditentukan oleh
asumsi-asumsinya, persepsi-persepsinya serta berbagai faktor subjektif lain,
demikian juga proses-proses yang dengannya seseorang ia memutuskan apakah ia
akan menaati suatu aturan hukum atau tidak. Dalam kaitannya ini, seyogyanya
pembuat perundang-undangan, harus peka untuk berupaya dapat melakukan prediksi
yang akurat, tentang bagaimana orang-orang yang kelak akan menjadi target
peraturan yang dibuatnya, akan bereaksi terhadap peraturan tersebut, dan
olehnya itu, pembuat undang-undang harus secara optimal memiliki kemampuan
menentukan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang ikut membentuk pilihan
orang-orang yang akan menjadi sasaran perundang-undangan itu.
Dalam memberi bobot terhadap keuntungan yang akan
diperoleh atau sebaliknya kerugian yang akan diderita, jika menaati atau tidak
menaati aturan hukum, harus memasukkan sebagai “kegiatan resmi” (official activity) sebagai
perhitungannya, di mana seseorang tentu memperhitungkan juga “action resmi”, bukan secara de jure, melainkan secara de facto. Saya dapat memberikan suatu missal,
apakah saya akan menggugat pihak debitor di pengadilan karena dia tidak
membayar utangnya kepada saya selaku kreditor, atau saya hanya menggunakan jasa
“debt collector” alias “penagih
hutang” saja, tergantung dari pertimbangan saya tentang untung ruginya jika
saya menggugat ke pengadilan atau menggunakan debt collector. Demikian juga missal lain, apakah seseorang akan
melanggar lampu merah di “traffic light”
atau tidak, tergantung pada penilaian orang itu terhadap kemungkinan
penangkapan, tilang “di tempat” (tilang illegal), atau tilang resmi jika kasus
itu berlanjut ke pengadilan; dan bukannya tergantung pada sanksi-sanksi yang
tercantum di atas kertas undang-undang. Kalkulasi-kalkulasi seseorang yang
harus menentukan pilihan untuk taat atau tidak taat, sering menciptakan hasil
yang aneh-aneh.[12]
Demikian juga, kapan suatu norma informal (moral,
agama, adat, kebiasaan, etika) bertentangan dengan aturan hukum formal yang
resmi, maka di sana senenatiasa akan timbul perhitungan kepentigan, dalam hal
ini, mungkin “kepentingan ekonomis”, melainkan kepentingan “kepuasan batin”.
Oleh karena jika norma informal bertentangan dengan aturan hukum resmi, maka
seseorang tetap akan dipersalahkan, apakah karena melanggar norma informal atau
karena melanggar aturan hukum resmi atau formal. Lagi-lagi faktor kepentingan
yang akan menentukan. Bagaimanapun harus dipahami, bahwa seseorang dengan
standar-standar subjektifnya senantiasa mengalkulasi perilakunya sendiri, mana
yang akan mengeluarkan biaya (pengorbanan) yang lebih besar dan mana yang akan
menghasilkan keuntungan yang lebih besar begitu juga sebaliknya. Realitas ini
menunjukkan bahwa persoalan “konflik peran” sangat menentukan dalam pilihan
untuk menaati atau tidak menaati suatu aturan hukum. Konflik-konflik peran
senantiasa menghasilkan manifestasi-manifestasi yang mencolok.
Juga harus disadari bahwa persepsi warga masyarakat
menjadi sasaran diberlakukannya suatu perundang-undangan, tidak selalu sama
dengan persepsi pembauat undang-undang. Untuk itulah, pembuat undang-undang,
sedapat mungkin memerhatikan nilai-nilai yang hidup serta kepentingan warga
masyarakat, ketika merumuskan perundang-undangannya.
Dan setelah itu pun dibutuhkan sosialisasi hukum kepada masyarakat.
Sebagai tambahan, diakhir ini, kami akan menguraikan
tentang beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan terhadap hukum secara umum
sebagaimana disebutkan oleh C. G. Howard & R. S Mumners dalam Law: Its
Nature And Limits, 1965: 46-47, yaitu[13]:
a.
Relevansi
aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang yang menjadi
target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan hukum yang
dimaksud berbentuk undang-undang, maka pembuat undang-undang dituntut untuk
mampu memahami kebutuhan hukum dari target pemberlakuan undang-undang tersebut.
b.
Kejelasan
rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target
diberlakukannya aturan hukum. Jadi, perumusan substansi aturan hukum itu, harus
dirancang dengan baik, jika aturannya tertulis, harus ditulis dengan jelas dan
mampu dipahami secara pasti. Meskipun nantinya tetap membutuhkan interpretasi
dari penegak hukum yang akan menerapkannya.
c.
Sosialisasi
yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu. Kita tidak boleh meyakini
fiksi hukum yang menentukan bahwa semua penduduk yang ada dalam wilayah suatu
Negara, dianggap mengetahui seluruh aturan hukum yang berlaku di negaranya.
Tidak mungkin penduduk atau warga Negara masyarakat secara umum, mampu
mengetahui keberadaan suatu aturan hukum dan substansinya, jika aturan hukum
tersebut tidak disosialisasikan secara optimal.
d.
Jika
hukum yang dimaksud adalah peundang-undangan, maka seyogyanya aturannya
bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum yang bersifat
melarang (prohibitur) lebih mudah
dilaksanakan ketimbang hukum yang yang bersifat mengharuskan (mandatur).
e.
Sanksi
yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat aturan hukum
yang dilanggar tersebut. suatu sanksi yang dapat kita katakana tepat untuk
suatu tujuan tertentu, belum tentu tepat untuk tujuan lain.
f.
Berat
ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional dan
memungkinkan untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, sanksi denda yang diancamkan
oleh Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang berlaku di
Indonesia saat ini, terlalu berat jika dibandingkan penghasilan orang
Indonesia. Sanksi denda jutaan rupiah untuk pengemudi kendaraan umum yang tidak
memiliki ikat pinggang pengaman atau pemadam kebakaran, terlalu berat untuk
mampu dilaksanakan oleh mereka. Sebalaiknya, sanksi yang terlalu ringan untuk
suatu jenis kejahatan tentunya akan berakibat, warga masyarakat tidak akan
segan untuk melakukan kejahatan tersebut.
g.
Kemungkinan
bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum
tersebut, adalah memang memungkinkan, karena tindakan yang diatur dan
diancamkan sanksi, memang tindakan yang konkret, dapat dilihat, diamati, oleh
karenanya memungkinkan untuk diproses dalam setiap tahapan (penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan penghukuman). Membuat suatu aturan hukum yang
mengancamkan sanksi terhadap tindakan-tindakan yang bersifat gaib atau mistik,
adalah mustahil untuk efektif, karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum.
Mengancamkan sanksi bagi perbuatan yang sering dikenal sebagai “sihir” atau
“tenung”, adalah mustahil untuk efektif dan dibuktikan.
h.
Aturan
hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, realtif akan jauh lebih
efektif ketimbang aturan yang bertentangan dengan nilai moral yang dianut oleh
orang-orang yang menjadi target diberlakukannya aturan tersebut. Aturan hukum
yang sangat efektif, adalah aturan hukum yang melarang dan mengancamkan sanksi
bagi tindakan hukum yang juga dilarang dan diancamkan sanksi oleh norma lain,
seperti norma moral, norma agama, norma adat istiadat atau kebiasaan, dan
lainnya. Aturan hukum yang tidak diatur dan dilarang oleh norma lain, akan
lebih tidak efektif.
i.
Efektif
atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada
optimal dan professional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan
berlakunya sturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya,
sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum
(penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi) dan penerapannya
terhadap suatu kasus konkret.
j.
Efektif
atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan adanya pada
struktur hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Dan sebelumnya,
ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga, karena tidak mungkin
efektifitas hukum akan terwujud secara optimal jika masyarakat dalam keadaan cheos atau situasi perang dahsyat.
IV. Kesimpulan
1.
Kesadaran
hukum itu ada 2 (dua), yaitu:
(a)
Legal consciousness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan hukum, berada dalam
hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadarinya atau dipahaminya.
(b)
Legal consciousness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud menentang hukum atau
melanggar hukum.
2.
Ketaatan
hukum itu kesadaran hukum yang positif sedangkan kesadaran hokum yang negatif
itu adalah ketidaktaatan hokum.
[1]
Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk
Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009),
hlm. 298
[2] Satjipto Rahardjo, Hukum
dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, (Jakarta:
Kompas, 2009), hlm. 29
[3] Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 510
[6] Soerjono
Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hlm. 140.
[7]
Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat,
Makalah ini adalah Kertas kerja dalam rangka kerja sama Kampanye Penegakan Hukum antara
Fakultas Hukum UGM dengan Kejaksaan Agung RI tahun 1978.
Dikutip dari http://sudiknoartikel.blogspot.com
[8] Selo
Sumarjan, Perkembangan Politik Sebagai Penggerak Dinamika Pembangunan Ekonomi,
(Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1965),
hlm. 26.
[9] Achmad Ali, Op. Cit, hlm. 347-348
Tidak ada komentar:
Posting Komentar