Rabu, 08 Januari 2014

Asas Legalitas

ASAS LEGALITAS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

I.          Sejarah Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, menurut rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi: “Geen feit I strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wettelijke strafbepaling”. Zainal Abidin Farid, menerjemahkannya sebagai: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.”[1] Tapi dalam bukunya “Hukum Pidana Pidana Indonesia” yang ditulis bersama-sama dengan Andi Hamzah, rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut diterjemahkan sebagai: “tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”[2]. Kata “feit” diterjemahkan sebagai “perbuatan” berbeda dengan terjemahan awal yang mengartikan “feit” sebagai “peistiwa”. Dijelaskan dalam buku tersebut, bahwa perbedaan terjemahan tersebut karena istilah “feit” itu sering juga diartikan sebagai “peristiwa”, karena pengertian “feit” itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hokum pidana maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.[3] 
Roeslan Saleh, mengartikan sebagai: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan dilakukan”.[4]    
P.A.F. Lamintang mengartikan rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut sebagai: “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu sendiri”[5]. Lebih lanjut P.A.F. Lamintang, menerangkan bahwa terkait dengan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, dalam praktek kita akan menjumpai banyak tejemahan, yang satu dengan lainnya ternyata sangat berbeda dan yang dalam penggunaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka yang belum benar-benar menguasai ilmu pengetahuan hokum pidana, dan tanpa disadari oleh para penerjemahnya sendiri. Kesalahan yang tampaknya tidak berarti dalam di dalam menerjemahkan ketentuan-ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu dalam kenyataannya dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang fatal dalam penerapannya. Sebagai contoh dikemukakan misalnya terjemahan rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas ke dalam bahasan Indonesia yang telah dilakukan oleh Mr. E.M.L. ENGELBRECHT yang berbunyi: “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan  aturan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu”.[6]
Bagi orang awam rumusan ketentuan pidana menurut Mr. E.M.L. ENGELBRECHT di atas dapat ditafsirkan seolah-olah yang dapat dihukum itu hanyalah perbuatan-perbuatan yang telah diatur di dalam (per-)aturan pidana, dan hanya apabila (per-)aturan pidana tersebut terdapat di dalam suatu undang-undang, di mana perkataan “di dalam undang-undang” itu sendiri dapat memberika kesan seolah-olah yang dimaksud dengan “wet” di dalam perkataan “wettelijke” itu hanyalah wet atau undang-undang dalam arti formal saja, yang menurut Undang-Undang Dasar kita, kewenangan untuk membentuknya berada di tangan Presiden dengan pertujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal yang dimaksud di situ sebenarnya adalah undang-undang dalam arti material, hingga termasuk pula ke dalam pengertiannya yaitu semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, seperti misalnya peraturan-peraturan daerah tingkat I atau pun peraturan-peraturan daerah tingkat II.[7]  
Asas legalitas ini menentukan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana, yang berarti azas inilah yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ada ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu). Ucapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” ini berasal dari Von Feuerbach, sarjana hokum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).[8] Perumusan itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang terkenal dengan nama teori “vom psychologische Zwang”, yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan rem atau tekanan utuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
Ada yang mengatakan bahwa asas dan rumusan ini berasal dari Montesquieu. Mungkin sekali karena ajaran dari Montesqieu ada hubungannya dengan apa yang terkandung di dalam asas itu. MONTESQIEU (1688-1755), seorang Perancis yang terkemuka sebagai ahli fikir dalam hal negara dan hokum, juga seorang ahli hokum dan pernah menjadi hakim di Bordeaux. Setelah mengembara beberapa negara, Jerman, Hongaria, Austria, Italia, Swiss, Nederland dan Inggris, maka sekembalinya di Perancis Selatan lagi, dia lalu menulis buku-buku. Yang terkenal di antaranya “Esprit de Lois” pada tahun 1748.[9]
Keadaan ketetanegaraan di Inggris sungguh memberikan kesan yang dalam padanya. Disana menurut hematnya tugas kenegaraan dibagi atas tiga kekuasaan: kekuasaan perundang-undangan, yang membentuk undang-undang, kekuasaan kehakiman, yang memidana kejahatankejahatan, menyelesaikan sengketa antara sesame warga dan kekuasaan eksekutif, yang menyatakan peperangan, menutup atau mengadakan perjanjian-perjanjian, mempertahankan ketertiban, menekan pemberontakan-pemberontakan dan lain sebagainya.[10]
Dalam bukunya itu pulalah dia menulis bahwa karena kekuasaan kenegaraan dibagi demikian rupa itulah makanya monarchie di Inggris tidak menimbulkan ekses-ekses yang disebabkan karena kesewenang-wenangan. Sedangkan di Perancis keadaan adalah justru sebaliknya. Rakya sangat menderita karena kesewenang-wenangan ini. Dikatakannya, bahwa apabila pembentuk undang-undang, peradilan dan eksekutif benar-benar terpisah, sehingga tidak seorang pun sekaligus dapat menjadi pembentuk undang-undang, hakim dan pelaksana, maka tidaklah akan terjadi di Perancis peristiwa-peristiwa, di mana Raja dengan tiba-tiba dapat memerintahkan supaya seseorang ditutup untuk waktu tidak tertentu lamanya, tanpa ada aalasan-alasan semata-mata berdasarkan surat bermaterai yang dinamakan “Lettre de cachet”.[11] 
Benarlah bahwa dalam ajaran “trias politika” dari Monstesqieu itu sudah ada terkandung asas nullum delictum ini. Ajaran trias politika bermaksud akan melindungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah. Dan kita juga tahu, bahwa memang Monstesqieu-lah melakukan tantangan sehebat-hebatnya terhadap peradilan arbiter, yang terkenal bertindak sewenang-wenang pada masa sebelum terjadinya revolusi Perancis. Dan benar pula, bahwa asas nullum delictum ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 8 dari Declaration du droit de I’homme et du citoyen, piagam yang diadakan setelah terjadinya Revolusi Perancis yang dahsyat itu. Selanjutnya asas inipun dicantumkan orang pula dalam Pasal 4 dari Code Penal, dan kemudian selanjutnya dalam banyak kitab undang-undang hokum pidana Negara-negara lain, juga dalam kitab undang-undang hokum pidana kita sendiri. Bahwa asas legalitas itu telah terdapat dalam ajaran Montesqieu, itu tidak dapat disangkal. Tetapi rumusan nullum delictum dan seterusnya bukanlah berasal dari Montesquieu, melainkan dari Von Feuerbach. Rumusan ini ada dalam bukunya yang terkenal Lehrbuch des peinlichen Recht, tahun 1801.[12]
Zainal Abidin Farid, menyebutkan bahwa teranglah yang menciptakan asas legalitas yang berbahasa latin itu ialah Von Feuerbach, sedangkan pengarang lain adalah pelopor-pelopor, dan Mmontesqieu lebih baik disebut pencipta asas de la legalite, sesuai dengan bahsa Perancis yang digunakannya. Antara asas ciptaan Von Feuerbach dan apa yang penulis sebut asas de la legalite dari Montesquieu di samping ada persamaan mempunyai pula perbedaan sebagai berikut:
1.         Montesquieu lebih menitikberatkan perlindungan kebebasan pribadi orang dengan jalan membatasi tugas hakim sampai pada penerapan kaidah undang-undang, karena dengan demikian kepastian hokum bagi orang seorang dapat terjamin, sedangkan Von Feuerbach lebih menitikberatkan Psychologische Zwang ancaman pidana, namun ia memperhatikan perlindungan pribadi orang seorang dari kesewenang-wenangan hakim.
2.         Montesquieu (juga Rousseau, Beccaria, dll) menentang kesewenang-wenangan penguasa di segala lapangan, sedangkan Von Feuerbach khusus menentang peradilan arbitrair di lapangan hokum pidana (van der Donk 1935: 358).
3.         Pasal 8 Declaration du droit de I’homme et du citoyen tertanggal 26 Agustus 1789 adalah tercipta berkat pengaruh ajaran Monstesquieu, di kala mana ajaran Von Feuerbach belum dikembangkan.[13]   
Asas nulla poena itu dewasa ini diterima oleh sebagian besar Negara-negara di Eropa dan dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Asas tersebut juga telah mendapat suatu pengakuan secara internasional, yakni dengan dicantumkannya asas tersebut dalam Pasal 7 dari Perjanjian Roma Tahun 1950, yang rumusannya dalam bahasa Inggris berbunyi sebagai berikut[14]:
1.      No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or ammision which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal affence was committed.
2.      This article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principle of law recognized by civilized nations.
Tentang kebenaran bahwa asas nulla poena itu telah diterima oleh sebagian besar Negara-negara di Eropa, berkatalah George White Cross Paton antara lain: “the doctrine of nulla poena sine lege is regarde in many countries as a vital protection of the subject”. Dan hanya Negara-negara di bawah pemerintahan yang bersifat totaliter sajalah yang menolak asas tersebut yakni seperti negara Rusia yang secara terang-terangan menolak asas nulla poena tersebut dengan alasan bahwa asas tersebut bersifat borjuistis dan Negara Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler yang dengan undang-undang telah mencabut kembali asas nulla poena yang semula juga diterima dan di berlakukan di sana.

II.       Pengertian Asas Legalitas
Biasanya asas legalitas dimaksudkan mengandung 3 pengertian, yaitu[15]:
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
3.      Aturan-aturan hokum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi aturan hukum yang tertulis lebih dahulu, itu jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, di mana dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan.
Dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hokum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal di atas telah diajukan bahwa hokum pidana adat itu masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. 
Menurut Cleiren & Nijboer et al, asas legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang, tidak ada pidana tanpa undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana, hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa pidana dapat diterapkan. Asas legalitas untuk melindungi hak-hak warganegara dari kesewenang-wenangan penguasa di samping wewenang pemerintah untuk menjatuhkan pidana. Menurut pendapat L. Dupon (Beginselen van behoorlijke strafrechtbedeling), peran asas legalitas berkaitan dengan seluruh perundang-undangan sebagai aspek instrumental perlindungan.
Lebih lanjut Cleiren & Nijboer et al, mengatakan hokum pidana itu adalah hokum tertulis. Tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan hokum kebiasaan. Hokum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti:
a.          Tidak ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet).
b.         Tidak ada hokum kebiasaan (lex scripta).
c.          Tidak ada analogi (penafsiran ekstensif, dia hanya menerima penafsiran teleologis).[16]
Nieboer menguraikan asas legalitas lebih jelas dengan mengatakan asas legalitas merupakan jaminan kepada warga. Dengan kata “yang mendahuluinya “voorafgaande”. “perundang-undangan (wettelijke)”, dan ketentua pidana (strafbepaling), muncul secara langsung tiga norma:
a.          Larangan berlaku surut (untuk legislative dan hakim) dengan mengancam dan memberikan pidana (kepastian hokum.
b.         Perintah (kepada hakim), penjatuhan pidana melulu berdasarkan undang-undang dan tidak dengan kebiasaan. Berlakunya perundang-undangan mempositifkan asas legalitas. Akan tetapi pada pilihan jenis pidana dan atau ukuran pidana kebiasaan memegang peranan penting.
c.          Larangan (kepada hakim) menjatuhkan pidana lain dari yang disebut undang-undang karena ketentuan pidana pada pasal KUHP memuat juga ketentuan sanksi[17].
Mengenai pengertian yang kedua untuk menentukan adanya perbuatan tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan juga di negeri Belanda, pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa sarjana yang tidak menyetujuinya, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.
Taverne adalah Sarjana hukum yang pertama kali di Nederland yang menganjurkan diterimanya analogi dalam peradilan pidana. Dalam pidato penerimaan jabatan pada tahun 1918 di Amsterdam (van der Donk, Op. Cit: 395), beliau menyangkal kegunaan praktis larangan analogi dan menunjuk negara-negara Inggris dan Denmark yang memperkenankan analogi. Negeri Belanda sendiri, di mana 100 tahun lamanya berlaku Pasal 17 Crimineel Wetboek voor het Krijgsvolk te lande, secara eksplisit memperkenankan analogi. Beliau mengkonstatir, bahwa asas nullum delictum ciptaan Von Feuerbach mulai goyah. Di dalam anotasi arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (W.Np.10720:NJ 1921:562) tentang pencurian listrik, Taverne berpendapat, bahwa Hoge Raad yang mempersamakan inschakelen dengan wegnemen (mengambil) yang menjadi salah satu unsur delik pencurian (Pasal 362 KUUHPI), bukan lagi memberikan penafsiran, bahkan bukan lagi penafsiran ekstensif, tetapi secara diam-diam menerapkan analogi. Setelah memberikan contoh-contoh keputusan Pengadilan beliau berkesimpulan, bahwa asas nullum delictum yang oleh Von Liszt disebut Magna Charta penjahat-penjahat, in diens hand vaak een vrijbrief voor on sociale daden kan worden (di dalam tangannya sering merupakan surat bebas untuk perbuatan-perbuatan a sosial) yang seharusnya diakhiri dengan jalan memperkenankan hakim menerapkan analogi.[18] 
Mengenai analogi ini sudah banyak dibicarakan orang. Baik yang pro maupun yang kontra. Dalam membicarakan apakah hakim pidana dapat menggunakan analogi, pada umumnya orang berpangkal pada perbedaan pendapat mengenai batas antara tafsiran ekstensif dan analogi[19].
Dan memang semenjak H.R. pada tanggal 23 Mei 1921 memutuskan suatu perkara seorang dokter gigi yang menyadap listrik dan kemudian oleh pengadilan dipidana karena pencurian tenaga listriklah masalah analogi ini semakin banyak diperbincangkan. Taverne berhubung dengan putusan tersebut menulis bahwa H.R. secara diam-diam telah menerima analogi dalam peradilan pidana, walaupun tidak mau menyatakan menerima analogi secara tegas. Sikap H.R. demikian dicela oleh Taverne, yang dikatakannya telah bersikap “schijnheiling”. Sejak itu banyaklah orang membicarakan pokok soal ini.[20]
Menurut Roeslan Saleh (pendapatnya mengikuti pendapat Moeljatno), meskipun tafsiran ekstensip dan analogi itu adalah sama sifatnya, dan tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, namun ada juga suatu batas yang jelas antara kedua hal tersebut, sehingga melakukan penafsiran secara luas itu adalah dibenarkan sedangkan menggunakan analogi tidaklah lagi dibenarkan. Dalam tafsiran ekstensif kita masih berpegang pada aturan hokum yang sudah ada. Hanya perkataan yang ada di dalam suatu aturan hokum yang sudah ada itulah yang kita tafsirkan menurut pengertian dalam masyarakat yang hidup dan tidak menurut maknanya pada waktu aturan tersebut dibentuk.
Lebih lanjut Roeslan saleh menerangkan, bahwa dalm menggunakan analogi, pangkal pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidaklah bisa dimasukkan dalam suatu aturan hokum yang sudah ada. Pandangan hakimlah yang menghendaki agar perbuatan tersebut dijadikan perbuatan pidana pula. Ini adalah karena termasuk dalam inti dari suatu aturan yang telah ada, maka perbuatan tadi lalu dapat dikenal oleh aturan yang sudah ada itu, yaitu dengan menggunakan analogi. Yang dijadikan dasar untuk menjadikan perbuatan suatu perbuatan pidana  bukanlah suatu aturan pidan yang sudah ada, melainkan ratio atau inti aturan tersebut. Dapatlah dikatakan bahwa dalam tafsiran yang ekstensif itu kita masih tetap berpegang kepada aturan yang ada, sedangkan pada analogi tidak berpegang lagi pada aturan yang ada, sehingga karenanya adalah bertentangan dengan asas legalitas. Lain halnya, apabila menggunakan analogi tersebut untuk mengecualikan pidana. Untuk demikian itu tidaklah terlarang. Tidaklah dihalangi untuk menggunakan analogi dalam menentukan alasan-alasan yang menghapuskan pidana, baik dalam hal alasan yang membenarkan maupun sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan.[21]
Scholten berpandangan bahwa tidak ada perbedaan prinsipiil antara penafsiran ekstensif dan analogi, tetapi hanya soal gradasi saja., juga disetujui oleh Prof. Van Hattum dalam bukunya “Hand en leerboek van het Ned Strafrecht”, 1953, pag 71. Akan tetapi beliau menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana, juga menolak tafsiran ekstensif. Dan Arrest H.R. 1921 dipandang oleh beliau tidaklah sebagai contoh yang menggunakan tafsir ekstensif dan analogi, tetapi adalah suatu contoh di mana H.R. melepaskan pandangan dunia yang materialistis (materialistische wereldbeschouwing). Disitu hanya didapat peralihan makna dari perkataan “goed” verschuiving in betekenis.
Terhadap pendapat Scholten tersebut, Moeljatno[22] berpendapat bahwa apakah dalam pencurian listrik itu dinggap sebagai suatu “goed” karena tafsiran ekstensif, ataupun karena “verschuiving in betekenis van het word goed” (peralihan makna perkataan goed), itu hanyalah berlainan kata-kata saja. Yang terang ialah bahwa goed pada waktu W.v.S. 1880 dibentuk, hanya bermakna sebagai barang yang berujud saja, sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berujud.
Mengenai pengertian ketiga, aturan hukum tidak berlaku mundur. Dulu orang mengira bahwa asas legalitas itu adalah sedemikian pentingnya bagi hukum pidana, sehingga tidak mungkin ada undang-undang yang akan menyimpang daripadanya. Karena itulah, maka dunia hokum pidana menjadi gempar, ketika mendengar bahwa pemerintah Hitler (Jerman) mengadakan peraturan hokum pidana yang berlaku mundur.[23]
Ketentuan asas non retroaktif diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen menyatakan undang-undang tidak boleh berlaku surut. Pasal 28 I berbunyi: “…dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku yang surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

III.    Pengecualian Asas Legalitas
Asas dasar bahwa hokum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dibatasi dengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat (2) pasal itu. Ayat (2) berbunyi: “apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.
Zainal Abidin Farid, menyatakan bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan pengecualian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 A.B. yang menetapkan undang-undang hanya mengikat terhadap hal-hal yang akan dating dan tidak boleh diperlakukan surut. Khusus untuk Negara berkembang seperti Indonesia yang sedang membangun, tak dapat dielakkan banyaknya perubahan-perubahan hokum yang diperlukan untuk menunjang pembangunan sosial ekonomi.
Dalam perubahan drastis demikian, sering terjadi adanya peraturan-peraturan hokum yang saling bertentangan atau perubahan penilaian terhadap perbuatan yang dahulu dianggap kejahatan, tetapi kemudian dipandang sebagai sesuatu yang tidak melawan hukum.
Ketentuan peralihan tersebut menimbulkan 4 (empat) macam pertanyaan:
1.      Apakah yang dimaksud perundang-undangan?
2.      Apakah arti perubahan?
3.      Apakah yang dipandang sebagai ketentuan yang paling menguntungkan tersangka?
4.      Peraturan undang-undang yang manakah harus diperhitungkan oleh hakim banding atau hakim kasasi, bilamana setelah peradilan dalam instansi pertama atau kedua terjadi perubahan perundag-undangan?[24]
Lebih lanjut Zainal Abidin Farid, menyatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu diketahui tiga macam teori seperti akan diuraikan di bawah ini.
Menguntungkan tersangka di bidang apa sajakah?
Menguntungkan bukan saja tentang pidana, tetapi juga mengenai penuntutan, pengurangan jangka waktu verjaring, dana keadaan bahwa peristiwa itu merupakan delik aduan, demikianlah pendapat Jonkers (1946: 40). Misalnya, pada pihak yang satu, pidana pidana terhadap delik itu bertambah berat, sedangkan pada pihak lain peristiwa yang sebelumnya merupakan delik biasa berubah menjadi delik aduan. Maka aturan yang menguntungkan terdakwa pada dimajukannya pengaduan oleh yang dirugikan. Bila tidak dimajukan pengaaduan maka undang-undang yang baru itulah yang menguntungkan, tetapi bila sebaliknya terjadi, maka undang-undang lamalah yang menguntungkan terdakwa terhadap segala hal.
Apakah yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP?
Apakah Undang-Undang pidana saja atau semua aturan hokum? Hal ini dapat dijawab oleh 3 (tiga) macam teori sebagai berikut:
a.          Teori formil, yang dianut oleh Simon (1937:101).
        Perubahan undang-undang yang dimaksud, baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang Pasal 1 ayat (2) KUHP.
b.         Toeri materil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dalam disertasinya (1919), bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan hokum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan undang-undang ex. Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Keputusan H.R. tanggal 3 Desember 1906 (koppelarij arrest; kasus mucikari) menganut teori tersebut. Seorang mucikari do venlo dituduh melanggar Pasal 250, (1) 2e W.v.S, yaitu memudahkan perbuatan cabul terhadap seorang wanita di bawah umur (minderjarige), dengan seorang lelaki. Pada tahun 1906 ketika perkara itu diadili oleh Hof di Arnhem maka terjadi perubahan dalam B.W mengenai batas umur orang yang belum cukup umur, yaitu di bawah 23 tahun menjadi di bawah 21 tahun. Walaupun perubahan terjadi di luar W.v.S dan redaksi W.v.S tidak berubah, namun H.R. menguatkan keputusan Hof (Pengadilan Tinggi) Arnhem yang melepaskan terdakwa dari tuntutan hokum.
c.    Teori materiil tidak terbatas
H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (NJ. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommissiewet-arrest, berpendapat bahwa “perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hokum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan karena waktu.[25]
Teori tentang waktu tersebut yang paling luas dan sesuai dengan hokum pidana dan peradilan modern[26]. Roeslan Saleh[27] menerangkan bahwa menurut yurisprudensi, perubahan perundang-undangan dalam ayat-ayat ini tidak hanya menunjuk kepada perobahan perundang-undangan pidana saja. Dalam praktek ternyata, bahwa memang banyak hal yang sepintas lalu tidak terdugakan ada di dalam perumusan ini. Begitu pula jika perubahan perundang-undangan itu tidak langsung mengenai ancaman pidana, penghapus perbuatan pidana atau suatu unsur perbuatan pidana , akan tetapi secara tidak langsung mempunyai pengaruh kepada itu. Pada umumnya hal-hal tersebut pun dianggap sebagai perobahan perundang-undangan dalam arti ayat ke 2 ini.
Oleh beberapa penulis dibicarakan tentang kegunaan dari ketentuan ini. Ada yang menyarankan agar ketentuan ini dihapuskan saja. Alasannya karena ketentuan ini theoritis tidak mempunyai dasar yang sehatdan dalam praktekpunbanyak menimbulkan soal-soal yang sulit dan juga dapat menimbulkan perasaan tidak adil. Antara lain adalah karena jika ada beberapa orang yang telah diadili menurut peratutan yang lama, sedangkan yang lain berhubung karena belum terungkap misalnya harus diadili dikemudian hari. Dalam hal ini, jika ada perubahan dalam perundang-undangan yang menguntungkan bagi terdakwa, maka mereka yag diadili belakangan ini harus dikenakan aturan-aturan yang menguntungkan, sedangkan yang sudah diadili tidak (lihat Hazewinkel Suringa, TvS 47, van Hattum, Hand-en Leerboek pag. 90)[28]



IV.    Asas Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memerhatikan keseimbangan dua kepentingan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Pandangan monodualistik inilah yang biasanya dikenal dengan istilah “daad-dader strafrecht” yaitu hokum pidana yang memerhatikan segi objektif dari “perbuatan” (daad) dan juga segi-segi subjektif dari orang/pembuat (Dader)[29].
Bertolak dari prinsip keseimbangan monodualistik itulah, maka konsep tetap mempertahankan dua asas yang sangat fundamental dalam hokum pidana, yaitu: asas legalitas dan asas kesalahan/culpabilitas. Kedua asas inilah masing-masing dapat disebut sebagai “asas kemasyarakatan” dan “asas kemanusiaan”. Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, yang hanya merumuskan asas legalitas, konsep 1993 merumuskan kedua asas itu secara eksplisit di dalam Pasal 1 (untuk asas legalitas) dan Pasal 35 (untuk asas culpabilitas)[30].
Berbeda dengan perumusan asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep (RUUKUHP) memperluas perumusannya dengan mengakui eksistensi berlakunya hokum yang hidup (hokum tidak tertulis/hokum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang.[31]   
Perluasan perumusan asas legalitas ini dalam RUU KUHP Tahun 2012 dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
(1)      Ketentuan  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
(2)      Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Alur pemikiran yang demikian dilanjutkan oleh pembuat konsep (RUU KUHP) dengan menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hokum yang materiil. Konsep (RUU KUHP) berpendirian bahwa sifat melawan hokum merupakan unsur mutlak dari tindak pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas adanya unsur melawan hokum, namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap melawan hokum. Jadi perumusan formal dalam undang-undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran objektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hokum. Ukuran formal atau objektif itupun masih harus diuji secara materiil, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan kesadaran hokum rakyat atau hokum yang hidup dalam masyarakat[32].
Perluasan perumusan asas legalitas dan sifat melawan hokum ini pun tidak dapat dilepaskan dari pokok pikiran asas keseimbangan (antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara kepastian hokum dengan keadilan, antara kriteria/ sumber hokum formal dan materil). Pemikiran dan perumusan demikian juga merupakan hal baru apabila dibandingkan dengan perumusan KUHP yang saat ini berlaku[33].







Daftar Pustaka
1.      Arief, Nawawi, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008).
2.      Cleiren, C.P.M.  dan J.F. Neijboer, Red., Strafrecht, Tekst & Commentaar, Kluwer Deventer
3.      Farid,  Abidin, Zainal, H. A., Hukum Pidana 1,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
4.      _____________________dan Hamzah, Andi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010)
5.      Lamintang, P.AF., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997)
6.      Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Cetakan Tahun 1978, Tanpa Nama Percetakan).
7.      Nieboer, W, Schets Materieel Strafrecht, 1990
8.      Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983)
9.      ____________, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru, 1981)









[1] H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 130
[2] H. A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 53 
[3] Ibid, hlm. 53
[4] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 40
[5] P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 123
[6] Ibid, hlm. 124
[7] Ibid, hlm.
[8] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Cetakan Tahun 1978, Tanpa Nama Percetakan), hlm. 16
[9] Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm. 38
[10] Ibid, hlm. 38
[11] Ibid, hlm. 38-39
[12] Ibid, hlm. 39
[13] H. A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit, hlm. 135-136
[14] P.AF. Lamintang, Op. Cit, hlm. 134
[15] Moeljatno, Op. Cit, hlm. 17
[16] C.P.M. Cleiren-Neijboer, Red., Strafrecht, Tekst & Commentaar, hlm. 3, dikutip dari H. A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 55
[17] W. Nieboer, Schets Materieel Strafrecht, 1990, hlm. 34-35, dikutip dari H. A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 55-56
[18] H. A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit, hlm. 141
[19] Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm. 41
[20] Ibid, hlm.41
[21] Ibid, hlm.42-43
[22] Moeljatno, Op. Cit, hlm. 18
[23] Roeslan Saleh, Op. Cit, hlm. 45
[24] H. A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit, hlm. 152
[25] H. A. Zainal Abidin Farid, Op. Cit, hlm. 152-153
[26] Ibid, hlm. 153
[27] Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 14
[28] Ibid, hlm. 14-15
[29] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97
[30] Ibid, hlm. 97
[31] Ibid, hlm. 98
[32] Ibid, hlm. 98
[33] Ibid, hlm. 98-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar