ASAS
LEGALITAS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
I.
Sejarah Asas Legalitas
Asas
legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, menurut rumusannya dalam bahasa
Belanda berbunyi: “Geen feit I strafbaar
dan uit kracht van een daaran voorafgegane wettelijke strafbepaling”. Zainal Abidin Farid, menerjemahkannya
sebagai: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.”[1]
Tapi dalam bukunya “Hukum Pidana Pidana Indonesia” yang ditulis bersama-sama
dengan Andi Hamzah, rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut diterjemahkan sebagai:
“tiada suatu perbuatan (feit) yang
dapat dipidana selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya”[2].
Kata “feit” diterjemahkan sebagai
“perbuatan” berbeda dengan terjemahan awal yang mengartikan “feit” sebagai “peistiwa”. Dijelaskan
dalam buku tersebut, bahwa perbedaan terjemahan tersebut karena istilah “feit”
itu sering juga diartikan sebagai “peristiwa”, karena pengertian “feit” itu meliputi baik perbuatan yang
melanggar sesuatu yang dilarang oleh hokum pidana maupun mengabaikan sesuatu
yang diharuskan.[3]
Roeslan
Saleh, mengartikan sebagai: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan, sebelum perbuatan dilakukan”.[4]
P.A.F. Lamintang mengartikan rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut
sebagai: “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada
perbuatan itu sendiri”[5].
Lebih lanjut P.A.F. Lamintang, menerangkan bahwa terkait dengan rumusan Pasal 1
ayat (1) KUHP tersebut, dalam praktek kita akan menjumpai banyak tejemahan,
yang satu dengan lainnya ternyata sangat berbeda dan yang dalam penggunaannya
dapat menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka yang belum benar-benar
menguasai ilmu pengetahuan hokum pidana, dan tanpa disadari oleh para
penerjemahnya sendiri. Kesalahan yang tampaknya tidak berarti dalam di dalam
menerjemahkan ketentuan-ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
itu dalam kenyataannya dapat mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang fatal dalam
penerapannya. Sebagai contoh
dikemukakan misalnya terjemahan
rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas ke
dalam bahasan Indonesia yang telah dilakukan oleh Mr. E.M.L. ENGELBRECHT yang
berbunyi: “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang, yang terdahulu dari perbuatan itu”.[6]
Bagi orang
awam rumusan ketentuan pidana menurut Mr. E.M.L. ENGELBRECHT di atas dapat
ditafsirkan seolah-olah yang dapat dihukum itu hanyalah perbuatan-perbuatan
yang telah diatur di dalam (per-)aturan pidana, dan hanya apabila (per-)aturan
pidana tersebut terdapat di dalam suatu undang-undang, di mana perkataan “di
dalam undang-undang” itu sendiri dapat memberika kesan seolah-olah yang
dimaksud dengan “wet” di dalam
perkataan “wettelijke” itu hanyalah wet atau undang-undang dalam arti formal
saja, yang menurut Undang-Undang Dasar kita, kewenangan untuk membentuknya
berada di tangan Presiden dengan pertujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal
yang dimaksud di situ sebenarnya adalah undang-undang dalam arti material,
hingga termasuk pula ke dalam pengertiannya yaitu semua peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah, seperti misalnya peraturan-peraturan
daerah tingkat I atau pun peraturan-peraturan daerah tingkat II.[7]
Asas
legalitas ini menentukan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana,
yang berarti azas inilah yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana jika tidak ada ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Asas ini biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai: “nullum delictum nulla poena sine praevia
lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dulu).
Ucapan “nullum delictum nulla poena sine
praevia lege” ini berasal dari Von Feuerbach, sarjana hokum pidana Jerman
(1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).[8]
Perumusan itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang terkenal dengan nama
teori “vom psychologische Zwang”,
yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan
dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara
demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi
lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika
nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan rem atau
tekanan utuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka
hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya
sendiri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang
tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
Ada yang
mengatakan bahwa asas dan rumusan ini berasal dari Montesquieu. Mungkin sekali
karena ajaran dari Montesqieu ada hubungannya dengan apa yang terkandung di
dalam asas itu. MONTESQIEU (1688-1755), seorang Perancis yang terkemuka sebagai
ahli fikir dalam hal negara dan hokum, juga seorang ahli hokum dan pernah
menjadi hakim di Bordeaux. Setelah mengembara beberapa negara, Jerman,
Hongaria, Austria, Italia, Swiss, Nederland dan Inggris, maka sekembalinya di
Perancis Selatan lagi, dia lalu menulis buku-buku. Yang terkenal di antaranya
“Esprit de Lois” pada tahun 1748.[9]
Keadaan
ketetanegaraan di Inggris sungguh memberikan kesan yang dalam padanya. Disana
menurut hematnya tugas kenegaraan dibagi atas tiga kekuasaan: kekuasaan
perundang-undangan, yang membentuk undang-undang, kekuasaan kehakiman, yang
memidana kejahatankejahatan, menyelesaikan sengketa antara sesame warga dan
kekuasaan eksekutif, yang menyatakan peperangan, menutup atau mengadakan
perjanjian-perjanjian, mempertahankan ketertiban, menekan
pemberontakan-pemberontakan dan lain sebagainya.[10]
Dalam
bukunya itu pulalah dia menulis bahwa karena kekuasaan kenegaraan dibagi
demikian rupa itulah makanya monarchie di Inggris tidak menimbulkan ekses-ekses
yang disebabkan karena kesewenang-wenangan. Sedangkan di Perancis keadaan
adalah justru sebaliknya. Rakya sangat menderita karena kesewenang-wenangan
ini. Dikatakannya, bahwa apabila pembentuk undang-undang, peradilan dan
eksekutif benar-benar terpisah, sehingga tidak seorang pun sekaligus dapat
menjadi pembentuk undang-undang, hakim dan pelaksana, maka tidaklah akan
terjadi di Perancis peristiwa-peristiwa, di mana Raja dengan tiba-tiba dapat
memerintahkan supaya seseorang ditutup untuk waktu tidak tertentu lamanya, tanpa
ada aalasan-alasan semata-mata berdasarkan surat bermaterai yang dinamakan “Lettre de cachet”.[11]
Benarlah
bahwa dalam ajaran “trias politika”
dari Monstesqieu itu sudah ada terkandung asas nullum delictum ini. Ajaran
trias politika bermaksud akan melindungi kemerdekaan dan pribadi individu
terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah. Dan kita juga tahu,
bahwa memang Monstesqieu-lah melakukan tantangan sehebat-hebatnya terhadap
peradilan arbiter, yang terkenal bertindak sewenang-wenang pada masa sebelum
terjadinya revolusi Perancis. Dan benar pula, bahwa asas nullum delictum ini
kemudian dimasukkan dalam Pasal 8 dari Declaration
du droit de I’homme et du citoyen, piagam yang diadakan setelah terjadinya
Revolusi Perancis yang dahsyat itu. Selanjutnya asas inipun dicantumkan orang
pula dalam Pasal 4 dari Code Penal, dan kemudian selanjutnya dalam banyak kitab
undang-undang hokum pidana Negara-negara lain, juga dalam kitab undang-undang
hokum pidana kita sendiri. Bahwa asas legalitas itu telah terdapat dalam ajaran
Montesqieu, itu tidak dapat disangkal. Tetapi rumusan nullum delictum dan
seterusnya bukanlah berasal dari Montesquieu, melainkan dari Von Feuerbach.
Rumusan ini ada dalam bukunya yang terkenal Lehrbuch
des peinlichen Recht, tahun 1801.[12]
Zainal Abidin Farid, menyebutkan bahwa
teranglah yang menciptakan asas legalitas yang berbahasa latin itu ialah
Von Feuerbach, sedangkan pengarang lain adalah pelopor-pelopor, dan Mmontesqieu
lebih baik disebut pencipta asas de la
legalite, sesuai dengan bahsa Perancis yang digunakannya. Antara asas
ciptaan Von Feuerbach dan apa yang penulis sebut asas de la legalite dari Montesquieu di samping ada persamaan mempunyai
pula perbedaan sebagai berikut:
1.
Montesquieu
lebih menitikberatkan perlindungan kebebasan pribadi orang dengan jalan
membatasi tugas hakim sampai pada penerapan kaidah undang-undang, karena dengan
demikian kepastian hokum bagi orang seorang dapat terjamin, sedangkan Von
Feuerbach lebih menitikberatkan Psychologische
Zwang ancaman pidana, namun ia memperhatikan perlindungan pribadi orang
seorang dari kesewenang-wenangan hakim.
2.
Montesquieu
(juga Rousseau, Beccaria, dll) menentang kesewenang-wenangan penguasa di segala
lapangan, sedangkan Von Feuerbach khusus menentang peradilan arbitrair di
lapangan hokum pidana (van der Donk 1935: 358).
3.
Pasal
8 Declaration du droit de I’homme et du
citoyen tertanggal 26 Agustus 1789 adalah tercipta berkat pengaruh ajaran
Monstesquieu, di kala mana ajaran Von Feuerbach belum dikembangkan.[13]
Asas nulla
poena itu dewasa ini diterima oleh sebagian besar Negara-negara di Eropa dan
dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mereka. Asas tersebut juga
telah mendapat suatu pengakuan secara internasional, yakni dengan
dicantumkannya asas tersebut dalam Pasal 7 dari Perjanjian Roma Tahun 1950,
yang rumusannya dalam bahasa Inggris berbunyi sebagai berikut[14]:
1.
No
one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or
ammision which did not constitute a criminal offence under national or
international law at the time when it was committed. Nor shall a heavier
penalty be imposed than the one that was applicable at the time the criminal
affence was committed.
2.
This
article shall not prejudice the trial and punishment of any person for any act
or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to
the general principle of law recognized by civilized nations.
Tentang
kebenaran bahwa asas nulla poena itu telah diterima oleh sebagian besar
Negara-negara di Eropa, berkatalah George White Cross Paton antara lain: “the doctrine of nulla poena sine lege is
regarde in many countries as a vital protection of the subject”. Dan hanya
Negara-negara di bawah pemerintahan yang bersifat totaliter sajalah yang
menolak asas tersebut yakni seperti negara Rusia yang secara terang-terangan
menolak asas nulla poena tersebut dengan alasan bahwa asas tersebut bersifat
borjuistis dan Negara Jerman di bawah pemerintahan Adolf Hitler yang dengan
undang-undang telah mencabut kembali asas nulla poena yang semula juga diterima
dan di berlakukan di sana.
II. Pengertian
Asas Legalitas
Biasanya asas
legalitas dimaksudkan mengandung 3 pengertian, yaitu[15]:
1.
Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
3.
Aturan-aturan
hokum pidana tidak berlaku surut.
Pengertian
yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang jadi aturan hukum yang
tertulis lebih dahulu, itu jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, di mana
dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke
strafbepaling” yaitu aturan pidana dalam perundangan.
Dengan
adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana
menurut hokum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan
dengan aturan yang tertulis. Padahal di atas telah diajukan bahwa hokum pidana
adat itu masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara
saja.
Menurut Cleiren & Nijboer et al, asas
legalitas berarti tidak ada kejahatan tanpa undang-undang, tidak ada pidana
tanpa undang. Hanya undang-undang yang menentukan apa yang dapat dipidana,
hanya undang-undang yang menentukan pidana yang mana dan dalam keadaan apa
pidana dapat diterapkan. Asas legalitas untuk melindungi hak-hak warganegara
dari kesewenang-wenangan penguasa di samping wewenang pemerintah untuk
menjatuhkan pidana. Menurut pendapat L. Dupon (Beginselen van behoorlijke strafrechtbedeling), peran asas
legalitas berkaitan dengan seluruh perundang-undangan sebagai aspek
instrumental perlindungan.
Lebih
lanjut Cleiren & Nijboer et al,
mengatakan hokum pidana itu adalah hokum tertulis. Tidak seorang pun dapat
dipidana berdasarkan hokum kebiasaan. Hokum kebiasaan tidak menciptakan hal
dapat dipidana (strafbaarheid). Asas
legalitas katanya berarti:
a.
Tidak
ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet).
b.
Tidak
ada hokum kebiasaan (lex scripta).
c.
Tidak
ada analogi (penafsiran ekstensif, dia hanya menerima penafsiran teleologis).[16]
Nieboer menguraikan asas legalitas lebih jelas dengan mengatakan asas legalitas
merupakan jaminan kepada warga. Dengan kata “yang mendahuluinya “voorafgaande”. “perundang-undangan (wettelijke)”, dan ketentua pidana (strafbepaling), muncul secara langsung
tiga norma:
a.
Larangan
berlaku surut (untuk legislative dan hakim) dengan mengancam dan memberikan
pidana (kepastian hokum.
b.
Perintah
(kepada hakim), penjatuhan pidana melulu berdasarkan undang-undang dan tidak
dengan kebiasaan. Berlakunya perundang-undangan mempositifkan asas legalitas.
Akan tetapi pada pilihan jenis pidana dan atau ukuran pidana kebiasaan memegang
peranan penting.
c.
Larangan
(kepada hakim) menjatuhkan pidana lain dari yang disebut undang-undang karena
ketentuan pidana pada pasal KUHP memuat juga ketentuan sanksi[17].
Mengenai
pengertian yang kedua untuk menentukan adanya perbuatan tidak boleh digunakan
analogi pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia
dan juga di negeri Belanda, pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada
juga beberapa sarjana yang tidak menyetujuinya, misalnya Taverne, Pompe dan
Jonkers.
Taverne
adalah Sarjana hukum yang pertama kali di Nederland yang menganjurkan
diterimanya analogi dalam peradilan pidana. Dalam pidato penerimaan jabatan
pada tahun 1918 di Amsterdam (van der Donk, Op. Cit: 395), beliau menyangkal
kegunaan praktis larangan analogi dan menunjuk negara-negara Inggris dan
Denmark yang memperkenankan analogi. Negeri Belanda sendiri, di mana 100 tahun
lamanya berlaku Pasal 17 Crimineel
Wetboek voor het Krijgsvolk te lande, secara eksplisit memperkenankan
analogi. Beliau mengkonstatir, bahwa asas nullum delictum ciptaan Von Feuerbach
mulai goyah. Di dalam anotasi arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921
(W.Np.10720:NJ 1921:562) tentang pencurian listrik, Taverne berpendapat, bahwa
Hoge Raad yang mempersamakan inschakelen
dengan wegnemen (mengambil) yang
menjadi salah satu unsur delik pencurian (Pasal 362 KUUHPI), bukan lagi
memberikan penafsiran, bahkan bukan lagi penafsiran ekstensif, tetapi secara
diam-diam menerapkan analogi. Setelah memberikan contoh-contoh keputusan
Pengadilan beliau berkesimpulan, bahwa asas nullum delictum yang oleh Von Liszt
disebut Magna Charta
penjahat-penjahat, in diens hand vaak een
vrijbrief voor on sociale daden kan
worden (di dalam tangannya sering merupakan surat bebas untuk
perbuatan-perbuatan a sosial) yang seharusnya diakhiri dengan jalan
memperkenankan hakim menerapkan analogi.[18]
Mengenai
analogi ini sudah banyak dibicarakan orang. Baik yang pro maupun yang kontra.
Dalam membicarakan apakah hakim pidana dapat menggunakan analogi, pada umumnya
orang berpangkal pada perbedaan pendapat mengenai batas antara tafsiran
ekstensif dan analogi[19].
Dan memang
semenjak H.R. pada tanggal 23 Mei 1921 memutuskan suatu perkara seorang dokter
gigi yang menyadap listrik dan kemudian oleh pengadilan dipidana karena
pencurian tenaga listriklah masalah analogi ini semakin banyak diperbincangkan.
Taverne berhubung dengan putusan tersebut menulis bahwa H.R. secara diam-diam
telah menerima analogi dalam peradilan pidana, walaupun tidak mau menyatakan
menerima analogi secara tegas. Sikap H.R. demikian dicela oleh Taverne, yang
dikatakannya telah bersikap “schijnheiling”.
Sejak itu banyaklah orang membicarakan pokok soal ini.[20]
Menurut Roeslan Saleh (pendapatnya mengikuti
pendapat Moeljatno), meskipun
tafsiran ekstensip dan analogi itu
adalah sama sifatnya, dan tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil, namun ada
juga suatu batas yang jelas antara kedua hal tersebut, sehingga melakukan
penafsiran secara luas itu adalah dibenarkan sedangkan menggunakan analogi
tidaklah lagi dibenarkan. Dalam tafsiran ekstensif kita masih berpegang pada
aturan hokum yang sudah ada. Hanya perkataan yang ada di dalam suatu aturan
hokum yang sudah ada itulah yang kita tafsirkan menurut pengertian dalam
masyarakat yang hidup dan tidak menurut maknanya pada waktu aturan tersebut
dibentuk.
Lebih
lanjut Roeslan saleh menerangkan, bahwa dalm menggunakan analogi, pangkal
pendirian kita adalah bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidaklah bisa
dimasukkan dalam suatu aturan hokum yang sudah ada. Pandangan hakimlah yang
menghendaki agar perbuatan tersebut dijadikan perbuatan pidana pula. Ini adalah
karena termasuk dalam inti dari suatu aturan yang telah ada, maka perbuatan
tadi lalu dapat dikenal oleh aturan yang sudah ada itu, yaitu dengan
menggunakan analogi. Yang dijadikan dasar untuk menjadikan perbuatan suatu
perbuatan pidana bukanlah suatu aturan
pidan yang sudah ada, melainkan ratio atau inti aturan tersebut. Dapatlah
dikatakan bahwa dalam tafsiran yang ekstensif itu kita masih tetap berpegang
kepada aturan yang ada, sedangkan pada analogi tidak berpegang lagi pada aturan
yang ada, sehingga karenanya adalah bertentangan dengan asas legalitas. Lain
halnya, apabila menggunakan analogi tersebut untuk mengecualikan pidana. Untuk
demikian itu tidaklah terlarang. Tidaklah dihalangi untuk menggunakan analogi
dalam menentukan alasan-alasan yang menghapuskan pidana, baik dalam hal alasan
yang membenarkan maupun sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan.[21]
Scholten berpandangan bahwa tidak ada perbedaan prinsipiil antara penafsiran ekstensif dan analogi, tetapi hanya
soal gradasi saja., juga disetujui oleh Prof. Van Hattum dalam bukunya “Hand en
leerboek van het Ned Strafrecht”, 1953, pag 71. Akan tetapi beliau menolak
analogi dalam menentukan perbuatan pidana, juga menolak tafsiran ekstensif. Dan
Arrest H.R. 1921 dipandang oleh beliau tidaklah sebagai contoh yang menggunakan
tafsir ekstensif dan analogi, tetapi adalah suatu contoh di mana H.R.
melepaskan pandangan dunia yang materialistis (materialistische wereldbeschouwing). Disitu hanya didapat
peralihan makna dari perkataan “goed”
verschuiving in betekenis.
Terhadap
pendapat Scholten tersebut, Moeljatno[22]
berpendapat bahwa apakah dalam pencurian listrik itu dinggap sebagai suatu “goed” karena tafsiran ekstensif,
ataupun karena “verschuiving in betekenis
van het word goed” (peralihan makna perkataan goed), itu hanyalah berlainan
kata-kata saja. Yang terang ialah bahwa goed pada waktu W.v.S. 1880 dibentuk,
hanya bermakna sebagai barang yang berujud saja, sedangkan maknanya pada masa
sekarang juga meliputi barang yang tidak berujud.
Mengenai
pengertian ketiga, aturan hukum tidak berlaku mundur. Dulu orang mengira bahwa
asas legalitas itu adalah sedemikian pentingnya bagi hukum pidana, sehingga
tidak mungkin ada undang-undang yang akan menyimpang daripadanya. Karena
itulah, maka dunia hokum pidana menjadi gempar, ketika mendengar bahwa
pemerintah Hitler (Jerman) mengadakan peraturan hokum pidana yang berlaku
mundur.[23]
Ketentuan
asas non retroaktif diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
sudah diamandemen menyatakan undang-undang tidak boleh berlaku surut. Pasal 28
I berbunyi: “…dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku yang
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dapat dikurangi dalam keadaan
apapun”.
III. Pengecualian
Asas Legalitas
Asas dasar
bahwa hokum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP dibatasi dengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat (2)
pasal itu. Ayat (2) berbunyi: “apabila perundang-undangan diubah setelah waktu
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya”.
Zainal Abidin Farid, menyatakan bahwa ketentuan tersebut jelas merupakan
pengecualian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 A.B. yang menetapkan
undang-undang hanya mengikat terhadap hal-hal yang akan dating dan tidak boleh
diperlakukan surut. Khusus untuk Negara berkembang seperti Indonesia yang
sedang membangun, tak dapat dielakkan banyaknya perubahan-perubahan hokum yang
diperlukan untuk menunjang pembangunan sosial ekonomi.
Dalam
perubahan drastis demikian, sering terjadi adanya peraturan-peraturan hokum
yang saling bertentangan atau perubahan penilaian terhadap perbuatan yang
dahulu dianggap kejahatan, tetapi kemudian dipandang sebagai sesuatu yang tidak
melawan hukum.
Ketentuan
peralihan tersebut menimbulkan 4 (empat) macam pertanyaan:
1.
Apakah
yang dimaksud perundang-undangan?
2.
Apakah
arti perubahan?
3.
Apakah
yang dipandang sebagai ketentuan yang paling menguntungkan tersangka?
4.
Peraturan
undang-undang yang manakah harus diperhitungkan oleh hakim banding atau hakim
kasasi, bilamana setelah peradilan dalam instansi pertama atau kedua terjadi
perubahan perundag-undangan?[24]
Lebih
lanjut Zainal Abidin Farid, menyatakan
bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka perlu diketahui tiga
macam teori seperti akan diuraikan di bawah ini.
Menguntungkan tersangka di bidang apa sajakah?
Menguntungkan
bukan saja tentang pidana, tetapi juga mengenai penuntutan, pengurangan jangka
waktu verjaring, dana keadaan bahwa
peristiwa itu merupakan delik aduan, demikianlah pendapat Jonkers (1946: 40).
Misalnya, pada pihak yang satu, pidana pidana terhadap delik itu bertambah
berat, sedangkan pada pihak lain peristiwa yang sebelumnya merupakan delik
biasa berubah menjadi delik aduan. Maka aturan yang menguntungkan terdakwa pada
dimajukannya pengaduan oleh yang dirugikan. Bila tidak dimajukan pengaaduan
maka undang-undang yang baru itulah yang menguntungkan, tetapi bila sebaliknya
terjadi, maka undang-undang lamalah yang menguntungkan terdakwa terhadap segala
hal.
Apakah yang
dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP?
Apakah Undang-Undang pidana
saja atau semua aturan hokum? Hal ini dapat dijawab oleh 3 (tiga) macam teori
sebagai berikut:
a.
Teori
formil, yang dianut oleh Simon (1937:101).
Perubahan
undang-undang yang dimaksud, baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana
yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain undang-undang pidana, walaupun
berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang Pasal
1 ayat (2) KUHP.
b.
Toeri
materil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns dalam disertasinya (1919),
bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan
hokum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat
dianggap sebagai perubahan undang-undang ex. Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Keputusan H.R. tanggal 3 Desember 1906 (koppelarij arrest; kasus mucikari) menganut teori tersebut. Seorang
mucikari do venlo dituduh melanggar Pasal 250, (1) 2e W.v.S, yaitu memudahkan
perbuatan cabul terhadap seorang wanita di bawah umur (minderjarige), dengan seorang lelaki. Pada tahun 1906 ketika
perkara itu diadili oleh Hof di Arnhem maka terjadi perubahan dalam B.W
mengenai batas umur orang yang belum cukup umur, yaitu di bawah 23 tahun
menjadi di bawah 21 tahun. Walaupun perubahan terjadi di luar W.v.S dan redaksi
W.v.S tidak berubah, namun H.R. menguatkan keputusan Hof (Pengadilan Tinggi)
Arnhem yang melepaskan terdakwa dari tuntutan hokum.
c.
Teori
materiil tidak terbatas
H.R.
dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921 (NJ. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommissiewet-arrest, berpendapat
bahwa “perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan
perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan
hokum pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan
keadaan karena waktu.[25]
Teori
tentang waktu tersebut yang paling luas dan sesuai dengan hokum pidana dan
peradilan modern[26].
Roeslan Saleh[27]
menerangkan bahwa menurut yurisprudensi, perubahan perundang-undangan dalam
ayat-ayat ini tidak hanya menunjuk kepada perobahan perundang-undangan pidana
saja. Dalam praktek ternyata, bahwa memang banyak hal yang sepintas lalu tidak
terdugakan ada di dalam perumusan ini. Begitu pula jika perubahan
perundang-undangan itu tidak langsung mengenai ancaman pidana, penghapus
perbuatan pidana atau suatu unsur perbuatan pidana , akan tetapi secara tidak
langsung mempunyai pengaruh kepada itu. Pada umumnya hal-hal tersebut pun
dianggap sebagai perobahan perundang-undangan dalam arti ayat ke 2 ini.
Oleh
beberapa penulis dibicarakan tentang kegunaan dari ketentuan ini. Ada yang
menyarankan agar ketentuan ini dihapuskan saja. Alasannya karena ketentuan ini
theoritis tidak mempunyai dasar yang sehatdan dalam praktekpunbanyak
menimbulkan soal-soal yang sulit dan juga dapat menimbulkan perasaan tidak adil.
Antara lain adalah karena jika ada beberapa orang yang telah diadili menurut
peratutan yang lama, sedangkan yang lain berhubung karena belum terungkap
misalnya harus diadili dikemudian hari. Dalam hal ini, jika ada perubahan dalam
perundang-undangan yang menguntungkan bagi terdakwa, maka mereka yag diadili
belakangan ini harus dikenakan aturan-aturan yang menguntungkan, sedangkan yang
sudah diadili tidak (lihat Hazewinkel Suringa, TvS 47, van Hattum, Hand-en
Leerboek pag. 90)[28]
IV. Asas
Legalitas dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP yang
direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam
arti memerhatikan keseimbangan dua kepentingan antara kepentingan masyarakat
dan kepentingan individu. Pandangan monodualistik inilah yang biasanya dikenal
dengan istilah “daad-dader strafrecht”
yaitu hokum pidana yang memerhatikan segi objektif dari “perbuatan” (daad) dan juga segi-segi subjektif dari
orang/pembuat (Dader)[29].
Bertolak
dari prinsip keseimbangan monodualistik itulah, maka konsep tetap
mempertahankan dua asas yang sangat fundamental dalam hokum pidana, yaitu: asas
legalitas dan asas kesalahan/culpabilitas. Kedua asas inilah masing-masing
dapat disebut sebagai “asas kemasyarakatan” dan “asas kemanusiaan”. Berbeda
dengan KUHP yang sekarang berlaku, yang hanya merumuskan asas legalitas, konsep
1993 merumuskan kedua asas itu secara eksplisit di dalam Pasal 1 (untuk asas
legalitas) dan Pasal 35 (untuk asas culpabilitas)[30].
Berbeda
dengan perumusan asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep (RUUKUHP)
memperluas perumusannya dengan mengakui eksistensi berlakunya hokum yang hidup
(hokum tidak tertulis/hokum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu
perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur
dalam undang-undang.[31]
Perluasan
perumusan asas legalitas ini dalam RUU KUHP Tahun 2012 dirumuskan dalam Pasal 2
ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
(1)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang‑undangan.
(2)
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa.
Alur pemikiran
yang demikian dilanjutkan oleh pembuat konsep (RUU KUHP) dengan menegaskan
dianutnya pandangan sifat melawan hokum yang materiil. Konsep (RUU KUHP)
berpendirian bahwa sifat melawan hokum merupakan unsur mutlak dari tindak
pidana. Artinya, walaupun dalam perumusan delik tidak dirumuskan secara tegas
adanya unsur melawan hokum, namun suatu perbuatan yang telah dirumuskan sebagai
tindak pidana dalam undang-undang harus selalu dianggap melawan hokum. Jadi
perumusan formal dalam undang-undang harus dilihat sebagai faktor atau ukuran
objektif untuk menyatakan suatu perbuatan bersifat melawan hokum. Ukuran formal
atau objektif itupun masih harus diuji secara materiil, apakah ada alasan
pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu betul-betul bertentangan dengan
kesadaran hokum rakyat atau hokum yang hidup dalam masyarakat[32].
Perluasan
perumusan asas legalitas dan sifat melawan hokum ini pun tidak dapat dilepaskan
dari pokok pikiran asas keseimbangan (antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat, antara kepastian hokum dengan keadilan, antara
kriteria/ sumber hokum formal dan materil). Pemikiran dan perumusan demikian
juga merupakan hal baru apabila dibandingkan dengan perumusan KUHP yang saat
ini berlaku[33].
Daftar
Pustaka
1.
Arief,
Nawawi, Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008).
2.
Cleiren,
C.P.M. dan J.F. Neijboer, Red., Strafrecht,
Tekst & Commentaar, Kluwer Deventer
3.
Farid, Abidin, Zainal, H. A., Hukum Pidana 1,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007).
4.
_____________________dan
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010)
5.
Lamintang,
P.AF., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997)
6.
Moeljatno,
Azas-azas
Hukum Pidana, (Cetakan Tahun 1978, Tanpa Nama Percetakan).
7.
Nieboer,
W, Schets
Materieel Strafrecht, 1990
8.
Saleh,
Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983)
9.
____________,
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru, 1981)
[1]
H. A. Zainal Abidin Farid, Hukum
Pidana 1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm. 130
[2]
H. A. Zainal Abidin Farid dan
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010),
hlm. 53
[4]
Roeslan Saleh, Perbuatan
Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana, Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 40
[5]
P.AF. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 123
[8]
Moeljatno, Azas-azas
Hukum Pidana, (Cetakan Tahun 1978, Tanpa Nama Percetakan), hlm. 16
[13]
H. A. Zainal Abidin Farid, Op.
Cit, hlm. 135-136
[15]
Moeljatno, Op.
Cit, hlm. 17
[16]
C.P.M. Cleiren-Neijboer, Red.,
Strafrecht,
Tekst & Commentaar, hlm. 3, dikutip dari H. A. Zainal Abidin Farid
dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010),
hlm. 55
[17]
W. Nieboer, Schets
Materieel Strafrecht, 1990, hlm. 34-35, dikutip dari H. A. Zainal
Abidin Farid dan Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 55-56
[18] H. A. Zainal Abidin Farid, Op.
Cit, hlm. 141
[22]
Moeljatno, Op.
Cit, hlm. 18
[24] H. A. Zainal Abidin Farid, Op.
Cit, hlm. 152
[25] H. A. Zainal Abidin Farid, Op.
Cit, hlm. 152-153
[27]
Roeslan Saleh, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasan, (Jakarta: Aksara Baru,
1981), hlm. 14
[29] Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar